Kesalahan dalam metode pengadaan.
Harusnya lelang, dilakukan dengan penunjukan langsung ?
Harusnya penunjukan langsung menjadi pelelangan ?
Harusnya jasa konsultan dilakukan dengan jasa lainnya ?
Tidak ada tindakan korupsi, tidak ada tindakan pidana seperti pemalsuan data,
hanya saja pekerjaan penyedia tidak selesai.
Prosedural pengadaan adalah proses administrasi negara.
Suatu kesalahan prosedural bukanlah terkena sanksi pidana.
Kalaulah sering salah, ya perlu dibina dengan pelatihan atau magang.
Setelah dibina tetap tidak kompeten, ya diganti saja orangnya.
Penyedia yang tidak selesai akan diputus kontrak, dicairkan jaminan pelaksanaan dan di daftar hitam.
Berikut ini copy paste dari www.hukumonline.com yang menarik untuk direnungkan sehubungan dengan ketidaktepatan dalam pelaksanaan pengadaan.
Pengajar Hukum Anggaran Negara dan Keuangan Publik Fakultas Hukum
Universitas Indonesia (FHUI), Dian Puji Simatupang mengatakan seorang
pengambil kebijakan sebagai produk administrasi negara tidak dapat
dipidana meskipun kebijakan tersebut salah.
“Tidak dapat dipidana,” tutur Dian Puji Simatupang dalam seminar
“Pengambilan Kebijakan Publik Patutkah Dipidana?” di Jakarta, Jumat
(7/3).
Dian beralasan seorang pengambil kebijakan dilekati dengan wewenang
atributif. Wewenang yang diberikan oleh suatu peraturan kepada seorang
pengambil kebijakan untuk mengambil kebijakan. Dalam mengambil
kebijakan, seorang pengambil kebijakan harus mempertimbangkan manfaat
atau tidaknya kebijakan tersebut demi kepentingan umum yang
dilindunginya. Intinya, kebijakan yang diambil adalah pilihan terbaik
pada situasi dan kondisi saat itu demi menjaga kepentingan umum.
Landasan hukum yang memperkuat pendapat Dian adalah Yurisprudensi
Mahkamah Agung Republik Indonesia Tahun 1966. Yurisprudensi ini
menghapus pidana yang muncul dari tindakan kebijakan asalkan memenuhi
tiga syarat, yaitu negara tidak dirugikan, seseorang atau badan hukum
tidak diuntungkan secara melawan hukum, dan untuk pelayanan publik atau
melindungi kepentingan umum.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan Dian, sebanyak 70 persen kasus
hukum yang terjadi yang menyangkut tentang kebijakan publik justru
bersifat dwaling, salah kira. Hanya 30 persen saja yang murni mengandung unsur pidana. Dwaling tersebut dapat berupa salah kira atas maksud pembuat peraturan (zelfstandingheid der zaak); salah kira atas hak orang atau badan hukum lain (dwaling in een subjetieve recht); salah kira atas makna suatu ketentuan (in het een objectieve recht), dan salah kira atas wewenang sendiri (dwaling in eigen bevoegheid).
Terhadap persoalan dwaling ini, Dian mengatakan penyelesaiannya
bukan melalui sanksi pidana. Akan tetapi, harus melalui hukum
administrasi. Dian pun mengingatkan tentang prinsip hukum pidana, yaitu premium remedium. “Kalau mereka salah, bisa diberi peringatan hingga sampai pemberhentian dengan tidak hormat. Bukan dipidana,” ucapnya kepadahukumonline.
Kendati demikian, Dian mengatakan tidak semua pengambil kebijakan tidak
dapat dipidana atas kebijakan yang diambilnya. Pengambil kebijakan
tetap dapat dipidana apabila ketika mengambil kebijakan mengandung unsur
suap, ancaman, dan tipuan. Selama unsur tersebut dapat dibuktikan saat
proses pengambil keputusan, pengambil kebijakan dapat dipidana.
“Tergantung motivasinya. Jika ada unsur suap dalam prosesnya itu, ya bisa dipidana,” lanjutnya.
Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana juga
memaparkan hal yang serupa. Menurutnya, kebijakan yang dianggap salah
tidak bisa ujug-ujug diberikan sanksi pidana. Tidak semua kesalahan
langsung dipidana. Kesalahan di ranah hukum administrasi negara harus
dibedakan dengan hukum pidana. Kesalahan dalam mengambil kebijakan tidak
bisa disamakan serta merta dengan perbuatan jahat sebagaimana diatur
dalam hukum pidana.
Hikmahanto menyebutkan hukum administrasi negara tidak mengenal sanksi
pidana. Sanksi yang dikenal antara lain teguran lisan dan tertulis,
penurunan pangkat, demosi, hingga pemecatan dengan tidak hormat.
Meskipun hukum administrasi negara tidak mengenal sanksi pidana,
kebijakan yang salah tetap dapat dipidana. Kebijakan yang salah tersebut
dikelompokkan setidak-tidaknya ada tiga macam, yaitu kebijakan serta
keputusan dari pejabat yang melanggar Hak Asasi Manusia (HAM) berat,
seperti kejahatan terhadap kemanusiaan, genosida, kejahatan perang, dan
perang agresi; kesalahan dalam pengambil kebijakan yang jelas-jelas
telah dilarang dan diatur sanksi pidananya sebagaimana diatur dalam
Pasal 165 UU Pertambangan Mineral dan Batubara, dan kebijakan yang
bersifat koruptif.
Terkait dengan kebijakan yang bersifat koruptif ini, Hikmahanto sangat
menekankan bahwa yang perlu diperhatikan bukanlah kebijakannya yang
salah dan merugikan, tetapi niat jahat dari pengambil kebijakan ketika
membuat kebijakan. Ia pun turut mencontohkan kasus Bank Century. Untuk
kasus Bank Century, seharusnya para pengambil kebijakan tidak dapat
dipidana selama unsur niat jahat dari pengambil kejahatan tidak
terbukti.
“Harus dibuktikan dulu mens rea-nya (niat jahat, red). Ada motif memperkaya diri sendiri atau orang lain nggak?” pungkasnya.
0 Comments