STOP KRIMINALISASI
PENGADAAN, EFEKTIFKAH INSTRUKSI JOKOWI?
Presiden
Joko Widodo menegaskan kepada seluruh Kepala Kepolisian Daerah dan Kepala Kejaksaan
Tinggi pada pertemuan di Istana Negara pertengahan Juli 2016 lalu bahwa
jangan ada lagi kriminalisasi dalam penegakan hukum.
Pada kesempatan tersebut, Presiden mengingatkan kembali
lima instruksinya yang
pernah disampaikan di Istana Bogor,
Agustus 2015. Pertama, kebijakan diskresi tidak bisa dipidanakan.
Kedua, tindakan administrasi pemerintahan juga tidak bisa dipidanakan. Ketiga,
potensi kerugian negara yang dinyatakan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) masih diberi peluang selama 60 hari untuk dibuktikan kebenarannya.
Keempat, potensi kerugian negara juga harus konkret, tidak mengada ada. Kelima, kasus
yang berjalan di kepolisian
dan kejaksaan tidak boleh diekspos ke media secara berlebihan sebelum masuk ke
tahap penuntutan.
Lebih jauh lagi, Presiden menginstruksikan agar Pemda tidak boleh ragu dalam mengambil terobosan
untuk pembangunan daerahnya
dan
jika setelah perintah ini masih terdapat kriminalisasi kebijakan maka Kapolda-Kapolres
dan Kejati-Kejari akan dicopot.
Perintah
Presiden ini tampaknya
akan menemui banyak hambatan
di lapangan dikarenakan belum adanya keselarasan cara
pandang antar pelaku Pengadaan Barang Jasa (PBJ), auditor, ahli, dan Aparat Penegak Hukum (APH). Hal
ini ditambah lagi
dengan ketidakjelasan sikap atas
batasan-batasan: pelanggaran
andministrasi dan tindak pidana korupsi, keuangan negara atau bukan, kerugian negara,
pihak yang harus bertanggungjawab dan keuntungan penyedia yang wajar.
Dalam
tataran teknis, misalnya pada kasus
konstruksi, perbedaan pandangan mengenai analisa harga satuan antara PBJ dan
auditor berpotensi memunculkan konflik penghitungan Kerugian Negara (KN).
Menurut PBJ, analisa harga satuan sekedar alat bantu penghitungan penawaran.
Berbeda dengan auditor, sajian data pada analisa harga satuan berupa upah,
bahan dan alat bantu dinilai sebagai bahan audit. Auditor
akan mengaudit sesuai data yang disajikan, sedangkan PBJ akan berpatokan pada output kualitas dan kuantitas. Sehingga
apabila output sudah sesuai penawaran
menurut pelaku PBJ sudah tidak ada masalah.
Keterlibatan ahli yang kurang kompeten pada penyelidikan kasus tipikor audit jasa konstruksi
menghasilkan laporan justifikasi yang bias. Akibat kurangnya pengalaman di
lapangan, seorang ahli hanya menjustifikasi
nilai KN dengan asumsi data mentah yang didapatkannya dari bangku kuliah. Sementara itu auditor dan APH lebih condong menerima keterangan dari para ahli dibandingkan keterangan pengguna atau
pengawas lapangan.
Peraturan Presiden No 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan
Barang/Jasa Pemerintah Pasal 87 ayat (2) menjelaskan pekerjaan tambah tidak
boleh lebih dari 10% dari nilai kontrak awal. Dalam hal ini seorang
engineer tidak bisa menebak nilai
pekerjaan secara tepat.
Batasan 10% dimaksud untuk mengalokasikan
perkiraan Rencana Anggaran Biaya (RAB) bila meleset dilapangan. Hanya saja
nilai 10% ini menjadi besar bila nilai proyek juga besar, sehingga bila
justifikasi seorang ahli
menyatakan nilai proyek kurang dari kontrak maka disimpulkan
terjadi
KN, walaupun bila dilihat dari prosentase nilai proyek selisih itu masih kecil.
Audit pekerjaan
konstruksi dimungkinkan menggunakan alat laboratorium yang dimiliki oleh lembaga pendidikan tinggi. Peralatan
dengan merk dan tipe sama tapi pemakai yang berbeda sangat mungkin menghasilkan
data yang berbeda. Sehingga justifikasi pembenaran terhadap data yang
dihasilkan alat ini akan menjadi sangat obyektif tergantung siapa yang memakai
data tersebut. Persoalan data akan sangat bias bila dihubungkan dengan nilai KN atas sebuah pekerjaan konstruksi.
Dalam dunia perhubungan, segala macam insiden kecelakaan diselesaikan oleh
Komite Nasional Keselamatan Transportasi
(KNKT), maka tidak menutup kemungkinan
di dalam dunia
konstruksi
dibentuk Komite Penyelidik Keselamatan Bangunan (KPKB) dimana tugas utama para penyelidik
yang terdapat didalamnya adalah menjustifikasi
spesifikasi teknis dan nilai bangunan pasca konstruksi. Anggota komite ini nantinya terdiri dari para ahli bangunan dari
berbagai kalangan dan pemerhati bangunan terutama yang sering berhubungan
dengan audit, pemeriksaan forensik bangunan dan laboratorium konstruksi.
Penghitungan KN dalam
kontrak jenis Lump Sum sampai saat ini belum jelas definisi serta batasannya. Perpres No 54 Tahun
2010 pasal 51 menjelaskan bahwa kontrak Lump Sum pembayarannya didasarkan atas
seluruh pekerjaan. Penentuan kisaran prestasi hasil pekerjaan bagi para pelaku
PBJ menjadi masalah tersendiri, terlebih lagi jika terjadi putus kontrak. Kontrak Lump Sum idealnya berdasarkan
output tapi
bila dilaksanakan audit “kacamata
kuda” dimana data yang disampaikan itu adalah nilai
yang berbicara, maka rincian data bisa menjadi langkah awal adanya kerugian
negara.
Dalam kaitannya keuntungan
bagi penyedia, tidak ada satu pun kalimat
dalam Perpres No 54 Tahun 2010 yang menyatakan keuntungan penyedia dibatasi pada
nilai 15%. Munculnya angka sakral ini hasil pemahaman
yang salah dalam menyikapi pasal 66 tentang penetapan Harga Perkiraan Sendiri
(HPS). Pada pasal ini, HPS disusun dengan memperhitungkan keuntungan dan biaya overhead yang dianggap wajar.
Selanjutnya dijelaskan bahwa ukuran wajar yang dimaksud dalam pekerjaan
konstruksi adalah 15%. Pada hasil lelang, penyedia boleh mengambil keuntungan
berapapun asalkan nilai penawaran dibawah HPS. Penyusunan HPS yang salah bukan tergolong
korupsi karena nilai sebenarnya dari pekerjaan bukanlah HPS namun nilai
penawaran/kontrak.
Pada pasal 11 dijelaskan salah satu tugas dan kewenangan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) adalah
mengendalikan pelaksanaan kontrak. Sebagai “dewa sapu jagad”, PPK bertanggungjawab pada seluruh permasalahan
dalam pelaksanaan kontrak, baik teknis, administrasi, keuangan, hukum,
lingkungan kerja dan masyarakat.
Tanpa bekal pengalaman, PPK yang bermodalkan sertifikat
Pengadaan Barang Jasa (PBJ) saja akan sangat riskan terjerat kasus korupsi bidang pengadaan. Walaupun
pada realitanya tidak ikut menikmati hasil tetapi PPK dapat terjerat pasal “ikut andil memperkaya orang lain”.
Pengadaan
adalah seni memperoleh barang/jasa
dimana
pemeran utamanya
adalah Kelompok Kerja (Pokja) dan PPK. Biarkanlah seni
ini
berjalan sesuai irama gending pengiringnya. Keputusan administrasi Pokja bisa salah, begitu juga tindakan PPK dalam
pelaksanaan kontrak. Pokja dan PPK hanyalah manusia biasa
bukan dewa. Perlindungan menyeluruh terhadap ranah pengadaan diperlukan
untuk memacu pembangunan. Jangan
ada lagi Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SILPA) yang cukup besar hanya
dikarenakan pelaku pengadaan terlalu ketakutan dalam menjalankan proses
pengadaan. Instruksi Jokowi akan berjalan
efektif bila Pokja,
PPK, penyedia, auditor, APH dan LSM mempunyai irama yang sama.
Ingat bahwa tujuan kita
bersama adalah terciptanya sinergisitas pembangunan dalam rangka mewujudkan
kesejahteraan rakyat.
Tulisan ini pernah di muat dalam koran Suara Merdeka
Hery Suroso
Wakil
Rektor II Universitas Tidar Magelang
Dosen
Teknik Sipil Unnes Semarang
1 Comments
assalamualukm pak mudji santoso
ReplyDeletesaya jamal dari kaltara,
kbetulan lagi menyusun berhubungan dengan perlindungan trhadapa Organisasi Pengadaan khusunya PPK.
mohon email/kontak untuk sharing.
djamal.djze@yahoo.com
trima kasih