Ada hal yang selama ini keliru ketika memaknai Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 1999
Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor). Sayangnya,
pihak yang acapkali keliru justru berasal dari kalangan yang semestinya
punya pemahaman baik dalam memaknai kedua pasal tersebut, termasuk para
penegak hukum.
Hal itu terungkap dalam sebuah diskusi bertema “Pasal 2 dan Pasal 3 UU Korupsi, Norma dan Praktiknya”
di Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera (STHI Jentera) di Jakarta,
Selasa (29/3). Salah satu narasumber, Mantan Komisioner KPK, Chandra M
Hamzah berpendapat bahwa banyak pihak yang terjebak pada unsur “secara
melawan hukum” dalam Pasal 2 ayat (1) dan unsur “menyalahgunakan
kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau
kedudukan”.
“Nggak perlu takut dikriminalisasi dengan Pasal 2 dan Pasal 3 UU
Tipikor sepanjang konsisten dalam menafsirkannya,” kata Chandra.
Biasanya, lanjut Chandra, cukup banyak pihak yang terpaku pada unsur
dalam dua pasal tersebut. Dimana, seolah-olah unsur tersebut adalah hal
yang menjadi penekanan dan penegasan dalam pasal itu. Padahal, kata
Chandra, unsur tersebut hanya sebatas sarana atau cara bagi pelaku untuk
melakukan tindakan korupsi. Jika dikelompokan, ada tiga kelompok utama
yang menjadi konstruksi dari Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3.
Ketiga kelompok itu, yakni perbuatan, sarana, dan akibat. Misalnya
dalam Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor, unsur “memperkaya diri sendiri, orang
lain atau suatu korporasi masuk dalam kelompok perbuatan. Lalu unsur
“secara melawan hukum” masuk dalam kelompok sarana. Selanjutnya, unsur
“dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara” masuk dalam
kelompok akibat.
“Secara tata urutan memang unsur ‘secara melawan hukum’ terletak di
depan. Tapi bukan berarti itu yang mesti dicari terlebih dahulu. Memulai
dari unsur melawan hukum itu keliru besar tapi mulai dari perbuatan
yang memperkaya diri sendiri atau korporasi. Sehingga buktikan dulu
perbuatan sebagai baru kemudian cari soal unsur melawan hukumnya,” kata
Chandra.
Di tempat yang sama, Peneliti pada Lembaga Kajian dan Advokasi untuk
Independensi Peradilan (LeIP), Arsil mengatakan pergeseran dalam
memaknai Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor secara tidak langsung
membuat ketidakpastian hukum khususnya dalam hal apakah perbuatan
seseorang dikualifikasikan sebagai tindak pidana korupsi atau tidak.
Makanya, ia menilai perlu ada yang diluruskan dalam memaknai dua pasal
secara tepat.
Contohnya, lanjut Arsil, ada pada beberapa putusan Mahkamah Agung (MA)
salah satunya putusan MA No.69 K/Pid.Sus/2013/ Dalam putusan itu
dinyatakan bahwa karena tidak adanya audit BPK atau BPKP maka Jaksa
tidak dapat membuktikan adanya kerugian keuangan negara. Menurut Arsil,
pertimbangan tersebut memberi kesan bahwa audit BPK atau BPKP mutlak
diperlukan untuk mengetahui kerugian keuangan negara. “Padahal itu
sebagai akibat bukan sebagai inti delik,” katanya.
Menurutnya, Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor cukup dipahami bahwa inti delik (Bestanddelen Van Het Delict),
yakni “memperkaya diri sendiri, orang lain atau korporasi” dan
“menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi”.
Sehingga, tak perlu membutuhkan bukti seperti audit BPK atau BPKP untuk
mengetahui kerugian keuangan negara karena hal itu bukanlan inti dari
delik.
“Memahami unsur pokok delik dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 terletak
pada unsur ‘memperkaya diri sendiri atau orang lain secara melawan
hukum’ dapat menjangkau perbuatan koruptif secara luas tanpa menimbulkan
kekhawatiran kriminalisasi,” kata Arsil
Legislative Error
Sementara itu, Ketua DPN PERADI Luhut MP Pangaribuan punya perspektif
yang berbeda terkait dengan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor. Ia
berpendapat, bahwa ada yang keliru dengan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3
UU Tipikor khususnya terkait dengan konsep ancaman hukuman antara kedua
pasal itu.
Menurut Luhut, oleh karena Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor memiliki
keterkaitan antara satu dengan lainnya, mestinya ancaman pidana yang
saat ini diatur dalam Pasal 2 mestinya tidak lebih tinggi dari Pasal 3.
Sebab secara konsep, Pasal 3 UU Tipikor merupakan perberatan dari
tindakan yang diatur di Pasal 2 UU Tipikor.
“Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor ini terjadi legislative error,
mestinya Pasal 3 harus lebih berat hukuman dibanding Pasal 2 karena dia
tahu kalau dia menyalahgunakan wewenang untuk melakukan pidana,” tutup
Luhut.
WWW,HUKUMONLINE.COM
0 Comments