Kami PPK
pembangunan gedung senilai Rp 10 miliar pada tahun anggaran 2013.
Namun s.d. sekarang
tanggal 31 Januari 2014, gedung tersebut belum bisa dipakai.
Apakah posisi seperti ini, kami dinilai melakukan
perbuatan kerugian negara ? Apakah hal
demikian termasuk perbuatan pidana korupsi ?
Terima kasih atas jawaban bapak, semoga kecintaan bapak terhadap negeri ini sama
dengan kecintaan saya atas kemajuan dan
kesejahteraan negara ini .
Pembayaran didasarkan atas ketentuan dalam kontrak, dalam hal dikontrak dijelaskan
dengan pembayaran secara bulanan atau berdasarkan termin dapat dibayar senilai
Rp. 68% maka penyedia akan dibayar senilai Rp. 68%. Terhadap pekerjaan yang tidak selesai,
penyedia dikenakan sanksi dicairkan jaminan pelaksanaan, dikenakan daftar hitam
dan bila penyedia menerima uang muka maka penyedia diminta melunasi uang muka
yang diterima (atau dicairkan jaminan uang mukanya, kemudian disetor senilai
yang harus dikembalikan).
Akibat tidak selesainya pekerjaan tersebut atau
tidak mencapai pekerjaan sebesar 100%, hal ini bukan sebagai kerugian negara,
hanya negara tidak mendapat out put sebesar 100% sesuai yang direncanakan.
Negara akan mengalami potensi kerugian negara, bukan kerugian negara. Artinya dengan out put sebesar 68%, negara
tidak memperoleh atau tidak menikmati
output adanya gedung negara yang akan digunakan untuk tugas dan fungsi
pemerintahan. Bahkan bisa terjadi negara
harus menganggarkan untuk pemeliharaannya
atau ketika dilanjutkan oleh penyedia lain, pengeluaran anggaran akan
lebih besar lagi.
Apakah hal tersebut dapat dikaitkan dengan tindak
pidana korupsi ? Risiko terhadap tidak selesainya kontrak telah dinyatakan akan
dikenakan sanksi. Hal ini bukan pidana korupsi karena penyedia dibayar dengan
nilai prestasinya sesuai ketentuan kontrak dan dikenakan sanksi.
Pidana korupsi dinilai dari adanya unsur
kesengajaan (yang secara melawan hukum : pasal 2 UU PTPK, yang dengan tujuan:
UU PTPK pasal 3) mengenai nilai pembayaran yang melebihi prestasi
pekerjaan. Kesengajaan pembayaran >
prestasi.
Bagaimana kalau terjadi ketidaktepatan pembayaran
dan bukan kesengajaan. Hal ini agar dilakukan audit sehingga nilainya nyata dan
pasti, hasil audit dapat menetapkan nilai yang harus dikembalikan oleh penyedia
kepada negara. Saya memandang hal ini sebagai hubungan keperdataan saja, bukan
pidana.
Semoga ulasan ini membantu.
Akhirnya
kita harus mengingat kembali bahwa hal-hal yang bisa membawa ke pidana
yaitu pemalsuan dokumen, pekerjaan fiktif dan suap/gratifikasi.
Bagaimana bila hal tersebut karena kelalaian ?
Dalam UU 1 tahun 2004, ...perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun
lalai...wajib mengganti kerugian negara.
Suatu ironi bila kita sebagai pejabat/pelaksana negara tidak tahu, tidak
kompeten, tidak melakukan pemalsuan, tidak melakukan fiktif, tidak menerima suap/gratifikasi dan tidak
melakukan persengkokolan akan dikenakan tuntutan bukan hukum pidana tetapi
mengganti kerugian negara. Berdasar UU
ini, tuntutan yang paling tinggi adalah mengganti kerugian negara. Pendapat pribadi saya, yaitu sanksi hukum
berupa mengganti kerugian negara harus memenuhi norma kepatutan, tidak
menikmati dan tidak sengaja kok disuruh mengganti, jika tidak memenuhi norma kepatutan maka
sanksi tersebut harus dipertimbangkan ketika untuk diputuskan oleh majelis
hakim.
Jangan sampai orang-orang yang berintegritas,
mengabdi, berdedikasi kepada pekerjaan untuk
negara dan menghabiskan hari-harinya dengan pekerjaan, karena penyedia tidak
tuntas, dia kena hukuman. Bila ini terjadi siapa yang akan menggerakkan negeri
ini.
0 Comments