header 2

𝘉𝘭𝘰𝘨 𝘪𝘯𝘪 𝘩𝘢𝘯𝘺𝘢 𝘱𝘦𝘯𝘥𝘢𝘱𝘢𝘵 𝘱𝘳𝘪𝘣𝘢𝘥𝘪 𝘶𝘯𝘵𝘶𝘬 𝘮𝘦𝘯𝘥𝘶𝘬𝘶𝘯𝘨 𝘬𝘦𝘮𝘢𝘫𝘶𝘢𝘯 𝘐𝘯𝘥𝘰𝘯𝘦𝘴𝘪𝘢 𝘮𝘦𝘭𝘢𝘭𝘶𝘪 𝘱𝘦𝘯𝘨𝘢𝘥𝘢𝘢𝘯 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘮𝘶𝘥𝘢𝘩 , 𝘦𝘧𝘪𝘴𝘪𝘦𝘯,𝘦𝘧𝘦𝘬𝘵𝘪𝘧,𝘵𝘳𝘢𝘯𝘴𝘱𝘢𝘳𝘢𝘯,𝘣𝘦𝘳𝘴𝘢𝘪𝘯𝘨, 𝘢𝘥𝘪𝘭/𝘵𝘪𝘥𝘢𝘬 𝘥𝘪𝘴𝘬𝘳𝘪𝘮𝘪𝘯𝘢𝘵𝘪𝘧 𝘥𝘢𝘯 𝘢𝘬𝘶𝘯𝘵𝘢𝘣𝘦𝘭.

KESALAHAN DALAM PBJ TIDAK SERTA MERTA MENJADI TIPIKOR

JAKARTA, KOMPAS - Denny Indrayana, mantan Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, dan sejumlah pegiat anti korupsi lain dijadikan tersangka tindak pidana korupsi oleh penyidik pada Direktorat Tindak Pidana Korupsi Badan Reserse Kriminal Polri.

Penyidik menyangka adanya kerugian negara yang diakibatkan proyek paspor elektronik atau payment gateway. Sementara Denny Indrayana mengatakan, sistem yang dibangun bertujuan agar praktik percaloan pengurusan paspor dapat diberantas, dan masyarakat nyaman dan tidak perlu antre dalam pengurusan paspor mereka.
Saat ini, proses hukum sedang berjalan. Semua tentu wajib menghormati proses tersebut.
Hal penting
Artikel ini tidak bertujuan membela Denny Indrayana. Artikel ini untuk mengingatkan kita akan satu hal penting dalam pemberantasan korupsi, yaitu aparat penegak hukum harus menemukan bukti-bukti yang mengarah pada niat jahat (mens rea) dan perbuatan jahat (actus reus) dari pelaku tindak pidana korupsi.
Banyak pihak yang telah divonis atau sedang menjalani proses hukum sebagai tersangka atau terdakwa merasa bahwa mereka tidak memiliki niat dan perbuatan jahat. Jadi, tidak seharusnya sangkaan, dakwaan, dan penjatuhan vonis korupsi ditujukan kepada mereka.
Niat dan perbuatan yang dimaksud adalah niat dan perbuatan untuk memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi.
Dalam Pasal 2 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor), niat dan perbuatan yang harus dibuktikan adalah yang melawan hukum, sementara dalam Pasal 3 UU Tipikor adalah niat dan perbuatan yang menyalahgunakan kewenangan.
Dalam tindak pidana korupsi, membuktikan adanya niat sekaligus perbuatan jahat dari pelaku sangatlah penting.
Ini berbeda dengan tindak pidana yang terkait dengan nyawa. Dalam tindak pidana tersebut, ada sejumlah variasi.
Apabila seorang pelaku sengaja menghilangkan nyawa yang oleh awam disebut sebagai pembunuhan, harus dibuktikan adanya niat sekaligus perbuatan untuk menghilangkan nyawa tersebut.
Menyebabkan matinya orang dapat terjadi meski tidak ada niat. Semisal pengemudi yang menabrak seseorang hingga tewas. Pengemudi tersebut tentu tidak pernah memiliki niat sejak mengemudikan mobil untuk membunuh orang.
Namun, perbuatannya berakibat pada matinya orang. Pelaku dipersalahkan karena kelalaian atau ketidaksengajaan.
Dalam situasi lain bisa terjadi pelaku memiliki niat menghilangkan nyawa dengan meracun, dan perbuatan sudah dilakukan, tetapi orang yang hendak diracun ternyata tetap hidup.
Pelaku yang mempunyai niat membunuh tersebut dapat dijatuhi hukuman pidana meski tidak ada yang mati. Dalam hukum pidana, ini disebut sebagai percobaan melakukan tindak pidana.
Memang percobaan melakukan tindak pidana korupsi bisa saja terjadi. Sebab, niat telah ada dan perbuatan sudah dilakukan. Namun, karena satu dan lain hal, perbuatan tersebut berakhir secara tidak sempurna. Dalam tindak pidana korupsi, niat sekaligus perbuatan jahat harus ada. Tidak mungkin pelaku melakukan korupsi jika tidak ada niat jahat. Dalam tindak pidana korupsi, yang harus dipahami adalah tidak mungkin karena ketidaksengajaan. Tindak pidana korupsi mensyaratkan adanya niat atau motif dari pelaku.
Hingga saat ini, ada terpidana korupsi yang merasa tidak memiliki niat dan perbuatan jahat untuk memperkaya dirinya sendiri, orang lain, atau korporasi. Mereka menjadi terpidana karena aparat penegak hukum menekankan pada adanya kerugian negara. Padahal, tidak semua kerugian negara harus berujung dalam ranah pidana.
Kerugian negara yang dapat diproses dalam ranah pidana adalah kerugian negara yang pelakunya memiliki niat dan perbuatan jahat untuk memperkaya dirinya sendiri, orang lain, atau korporasi, baik secara melawan hukum maupun dengan menyalahgunakan kewenangan.
Penyidik yang memulai suatu proses hukum tindak pidana korupsi kerap memulai suatu perkara dengan melihat ada tidaknya kerugian negara. Mereka tidak memulai penyidikan dengan menelusuri ada tidaknya niat jahat dari pelaku untuk memperkaya dirinya sendiri, orang lain, atau korporasi.
Bagi penyidik, jika kerugian negara telah dinyatakan ada, barulah dicari unsur melawan hukum atau menyalahgunakan wewenang. Repotnya apabila dicari menjadi dicari-cari. Unsur melawan hukum, misalnya, dicari-cari dari kesalahan administratif hingga pengambilan keputusan atau kebijakan yang pada kemudian hari dianggap salah.
Keuntungan
Hal lain yang perlu dicermati adalah ketika pelaku yang disidik dianggap memperkaya orang lain atau korporasi. Jika keuntungan yang diperoleh dari orang lain atau korporasi merupakan proses yang tidak berkaitan dengan niat jahat pelaku korupsi, hal tersebut tidak seharusnya dikategorikan sebagai memperkaya orang lain atau korporasi.
Adalah wajar jika orang lain atau korporasi dalam pengadaan barang atau jasa dengan pemerintah mendapat keuntungan. Namun, apabila memperkaya orang lain atau korporasi berkaitan erat dengan niat jahat dari pelaku korupsi, barulah ini masuk dalam ranah tindak pidana korupsi.
Korupsi yang merupakan musuh bersama tentu harus diperangi. Namun, jangan sampai munculnya kerugian negara tanpa bukti niat dan perbuatan jahat menjadikan seseorang sebagai tersangka, terdakwa, bahkan terpidana.
Jika ini terjadi, akan muncul kesan kriminalisasi atas seseorang. Inti kriminalisasi di sini adalah orang yang tidak mempunyai niat dan perbuatan jahat untuk memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi, tetapi ada kerugian negara diproses dengan UU Tipikor.
Oleh karena itu, di mana pun penyidik tipikor berada, baik di Kepolisian, Kejaksaan, maupun Komisi Pemberantasan Korupsi, harus cermat. Jika tidak cermat, jaksa penuntut umum maupun pengadilan harus berani meluruskan. Jangan sampai orang tidak jahat harus mendekam di penjara.
Hikmahanto Juwana
Guru Besar Ilmu Hukum UI
* Artikel ini sebelumnya tayang di Harian Kompas edisi Rabu (1/4/2015).

Post a Comment

0 Comments