header 2

𝘉𝘭𝘰𝘨 𝘪𝘯𝘪 𝘩𝘢𝘯𝘺𝘢 𝘱𝘦𝘯𝘥𝘢𝘱𝘢𝘵 𝘱𝘳𝘪𝘣𝘢𝘥𝘪 𝘶𝘯𝘵𝘶𝘬 𝘮𝘦𝘯𝘥𝘶𝘬𝘶𝘯𝘨 𝘬𝘦𝘮𝘢𝘫𝘶𝘢𝘯 𝘐𝘯𝘥𝘰𝘯𝘦𝘴𝘪𝘢 𝘮𝘦𝘭𝘢𝘭𝘶𝘪 𝘱𝘦𝘯𝘨𝘢𝘥𝘢𝘢𝘯 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘮𝘶𝘥𝘢𝘩 , 𝘦𝘧𝘪𝘴𝘪𝘦𝘯,𝘦𝘧𝘦𝘬𝘵𝘪𝘧,𝘵𝘳𝘢𝘯𝘴𝘱𝘢𝘳𝘢𝘯,𝘣𝘦𝘳𝘴𝘢𝘪𝘯𝘨, 𝘢𝘥𝘪𝘭/𝘵𝘪𝘥𝘢𝘬 𝘥𝘪𝘴𝘬𝘳𝘪𝘮𝘪𝘯𝘢𝘵𝘪𝘧 𝘥𝘢𝘯 𝘢𝘬𝘶𝘯𝘵𝘢𝘣𝘦𝘭.

TIDAK SEMUA KESALAHAN PENGADAAN, DINILAI SERTA MERTA MENJADI TIPIKOR ?

Unsur Melawan Hukum
Bagaimana menemukan unsur sifat melawan hukum dari perbuatan pengelolaan  Barang dan Jasa? 
Pertama, harus ditemukan fakta bahwa, pengelola adalah mereka yang diberi wewenang untuk mengelola pengadaan barang/jasa yang dibiayai dana APBD/APBN; perlu surat keputusan dari Kuasa Pengguna Anggaran atau surat penunjukan; 

kedua, apakah proses pengadaan barang/jasa telah memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan dalam Perpres Tahun 2012; 
ketiga, harus ditemukan fakta ada keuntungan pribadi, atau orang lain atau korporasi sehingga Negara dirugikan karena nya. 

Unsur-unsur yang saya sebutkan di atas adalah untuk menguji ketentuan Pasal 2 UU Tipikor Tahun 1999 diubah Tahun 2001. Untuk pengujian unsur-unsur Pasal 3 UU Tipikor Tahun 1999/2001, masih perlu dibuktikan adanya penyalahgunaan wewenang oleh KPA, PPK dan petugas lainnya sesuai Perpres 2012,  dan Negara dirugikan sedangkan petugas ybs atau orang lain atau korporasi telah memperoleh keuntungan dari perbuatan yang telah dilakukan dengan sengaja (opzet). 

Intinya untuk perbuatan seseorang penyelenggara Negara (lihat UU RI Nomor 28 Tahun 1999) maka perbuatan tersebut harus dilakukan dengan sengaja. Tidak ada kelalaian untuk suatu tindak  pidana korupsi! Unsur penyalahgunaan wewenang yang dimaksud dalam kaitan Pasal 3 UU Tipikor 1999/2001, adalah perbuatan seorang penyelenggara  Negara yang bertentangan dengan maksud dan tujuan pemberian wewenang yang diberikan kepadanya oleh undang-undang tersebut.

Perbedaan Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor 1999 jo 2001
Perbedaan Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor Tahun 1999 jo 2001 adalah bahwa ketentuan Pasal 2 ditujukan terhadap setiap orang selain penyelenggara Negara dan ketentuan Pasal 3 ditujukan khusus terhadap penyelenggara Negara dengan merujuk pada kalimat, “ menyalahgunakan kewenangan karena kedudukan atau jabatannya”. 

Unsur lainnya dalam kedua ketentuan tersebut adalah sama. Perbedaan lain dari dua ketentuan tersebut terletak pada unsur “secara melawan hukum” pada Pasal 2 dan unsur “dengan maksud” pada Pasal 3, yang berbeda besar satu sama lain.  Unsur “dengan maksud” lazim diterjemahkan sebagai “opzet als oogmerk” –sengaja dengan tujuan- yang berarti, suatu bentuk kesengajaan- murni di mana pelaku telah memiliki niat jahat (mens-rea) untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau korporasi sehingga Negara dirugikan karena perbuatannya. Untuk membuktikan unsur ini diperlukan penyelidikan yang seksama untuk memperoleh sekurang-kurangnya dua alat bukti sebagai bukti permulaan dan bukti lain yang diperoleh dari keterangan saksi, ahli dan surat-surat lainnya.  Unsur “melawan hukum”, pasca putusan MK RI telah ditetapkan bahwa harus diartikan “melawan hukum formil” yaitu perbuatan pelaku harus memenuhi syarat-syarat formil suatu tindak pidana, yaitu perbuatan pelaku harus ditentukan secara eksplisit telah menyimpang dari ketentuan Undang-Undang; bukan karena dipandang tercela oleh masyarakat atau bertentangan dengan kesusilaan, ketertiban umum dan keamanan.

Dalam praktik penjelasan saya di atas sering diabaikan aparatur penegak hukum (APH) termasuk hakim pengadilan tipikor.Kelemahan praktik penegakan hukum dalam pemberantasan korupsi adalah 

pertama, APH sering menetapkan status tersangka korupsi hanya dengan cukup bukti petunjuk saja atau satu alat bukti lainnya.

Kelemahan kedua, khusus dalam perkara korupsi, ketentuan Pasal 14 UU Tipikor 1999 jo 2001 tidak pernah dipertimbangkan baik oleh penyidik, penuntut maupun oleh Hakim.Tafsir a’ contrario terhadap pasal ketentuan tersebut menjelaskan bahwa, jika di dalam Undang-undang lain, selain UU Tipikor, tidak ditegaskan bahwa pelanggaran atas Undang-undang lain sebagai tindak pidana korupsi maka berlaku ketentuan pidana di dalam Undang-undang lain; bukan Undang-Undang Tipikor tersebut. Dalam praktik banyak perkara administrasi yang telah memenuhi ketentuan Pasal 14 tetap dituntut dan dihukum berdasarkan UU Tipikor hanya karena telah terjadi kerugian keuangan Negara dan telah menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau korporasi. Praktik penegakan hukum dalam pemberantasan korupsi yang telah mengabaikan ketentuan Pasal 14 merupakan “kecelakaan sejarah penerapan UU Tipikor” yang tiada ternilai dan berdampak terhadap “ketegangan(spanning)” pada penyelenggara Negara sampai saat ini. Alih-alih menimbulkan efek jera berkepanjangan pada penyelenggara Negara malahan menimbulkan paranoia pada baik PPK maupun KPA yang pada giliranya tidak kondusi terhadap daya serap dana yang telah direncakan dalam APBN sektoral (K/L).

Tulisan ini diambil dari tulisan Prof Romli Atmasasmita


Post a Comment

4 Comments

  1. selamat malam yth bpk Mudjisantosa, saya sangat kagum dengan blog anda ini yang memuat segala hal tentang pengadaan pemerintah secara tranparansi,
    dengan penuh rasa hormat saya, mohon ijin kan saya mengajukan beberapa pertanyaan yang menjadi keluhan saya dan beberapa kawan saya dalam registrasi sebagai penyedia Ekatalog di lingkungan LKPP, adapun pertanyaan saya sebagai berikut :

    1. bagaimana mekanisme proses registrasi penyedia sesuai ketentuan yang berlaku?
    2. berapa lama waktu yang dibutuhkan terhitung setelah penyerahan dokumen secara lengkap hingga tayang di e katalog?

    mohon infonya pak, mohon maaf apa bila ada kata kata saya yang salah baik itu disengaja maupun tidak di sengaja, terima kasih

    salam

    ReplyDelete
  2. Mengenai pengajuan, silahkan disampaikan ke Deputi II LKPP
    Mengenai waktu proses, memang belum diatur

    ReplyDelete
    Replies
    1. bila ada pertanyaan agar di www.konsultasi.lkpp.go.id

      Delete