Saya pernah mendengar curhat dua anak muda. Mereka mengeluhkan aturan yang begitu kaku. Utamanya aturan tentang pembelian barang.
Jangan salah, ini bukan di kantor pemerintahan atau BUMN, tetapi di perusahaan swasta. Selain harus melewati beberapa meja dan memperoleh persetujuan atasan, untuk setiap pembelian barang harus ada pembanding. Jadi harus ada tiga produk yang sejenis, lengkap dengan daftar harganya.
Kalau untuk barang-barang yang harganya mahal, katakanlah di atas Rp1 juta atau 10 juta, keduanya paham. Tapi, ini untuk barang dipakai rutin, harganya pun di bawah Rp1 juta. ”Masak barang begitu mesti pakai pembanding segala,” kata keduanya, geram. Namun, peraturan adalah peraturan. standard operating procedure-nya (SOP) memang begitu.
Harus dipatuhi. Pilihannya tinggal take it or leave it. Ini belum selesai. Kalau mengikuti SOP, barang yang dibutuhkan baru diterima dua bulan kemudian. Padahal kategorinya urgent. Gila bukan! Harap diingat ini perusahaan swasta, bukan kantor lurah atau camat. Akhirnya keduanya mencari celah untuk menyiasati peraturan. Caranya mudah saja.
Dengan alasan terdesak, keduanya membeli dulu barang yang mereka butuhkan dengan uang pribadi. Lalu, berbekal bon pembelian, keduanya mengajukan reimburse ke perusahaan. Dengan cara itu, barang bisa diperoleh jauh lebih cepat. Lalu, uang reimburse cair seminggu kemudian. Bos-bos tidak tahu, begitulah prestasi anak buah yang kalau diketahui auditor yang ”sakit” mereka bakal kena kasus, dapat SP pula.
Intrapreneurship dan Entrepreneurship
Saya kira kejengkelan dua anak muda tadi terhadap kakunya SOP adalah kejengkelan kita semua. Dan, perusahaan tadi sesungguhnya beruntung. Keduanya memiliki naluri sebagai pengusaha, jeli melihat celah yang bisa dimanfaatkan untuk kepentingan kantor dan pelanggannya.
Oleh karena keduanya karyawan, mereka layak disebut intrapreneur: bukan owner, tapi memiliki ownership, naluri sebagai pengusaha. Intrapreneurship berbeda dengan entrepreneurship. Kalau entrepreneurship betul-betul dimiliki seorang pengusaha, karena itu uang dan nama baiknya, bukan karyawan yang hanya makan gaji.
Itu sebabnya selain mendapatkan gaji, karyawan seperti itu layak diberikan komisi, bonus, atau variable income. Begitulah intrapreneur atau entrepreneur. Negeri ini membutuhkan mereka untuk melakukan terobosan, membuka pintu, melakukan percepatan, mengangkat kesejahteraan.
Mereka adalah yang cepat membaca celah, dengan prinsip: Pada Setiap Dinding Selalu Ada Pintunya. Temukanlah! Namun bagi sebagian orang, terobosan sama dengan melanggar hukum. Apalagi kalau mereka tak pernah belajar tentang konsep Opportunity Cost. Mereka anggap biaya yang lebih mahal, atau dikeluarkan sebelum barangnya datang, atau dokumennya lengkap adalah kerugian, memperkaya orang lain, melanggar hukum.
Mereka tak pernah memahami, negeri ini makin rugi kalau sakitnya tidak segera kita bayar, kalau kita tidak mau ganti untung, kalau kita menunda-nunda kesempatan. Memang idealnya, dalam berbelanja kita putuskan bayar setelah semua proses beres dan dokumen lengkap. Tetapi dalam realita, dunia ini begitu cepat berubah. Dan begitu proses tadi sempurna, saat dibeli, harga barang itu telah berubah, kurs dolar bergerak naik, atau sudah lebih dulu diambil orang lain.
Lalu mangkrak-lah kegiatan usaha. Setelah itu orang di luar saling menyalahkan, bahkan saling meng-gobloki. Intrapreneur itu didatangkan bukan untuk merugikan, melainkan untuk membuat organisasi menjadi lebih lincah dan hidup. Bukankah hanya manusia mati yang badannya kaku? Maka, membelenggu mereka adalah kesia-siaan.
Melelahkan dan malah akhirnya bisa merugikan bangsa. Saya kira semangat mencari terobosan ini pulalah yang mendasari Dahlan Iskan. Itu yang saya baca. Semoga tak ada hengki pengkinya.
Baik ketika menjabat sebagai dirut PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) dan selaku kuasa pengguna anggaran atau KPA, menandatangani pencairan dana untuk membangun 21 gardu induk listrik untuk Jawa, Bali dan Nusa Tenggara Barat pada 2011–2013. Dahlan mengaku membubuhkan tanda tangan agar proyek tersebut bisa berjalan.
Ia melakukannya karena tak tahan mendengar keluhan rakyat soal keterbatasan pasokan listrik. Anda tahu bukan, akibat keterbatasan pasokan, listrik ketika itu pun menjadi yang biarpet. Bagi sebagian masyarakat kita, terutama di pinggiran Jawa dan luar Jawa, keluh kesah soal listrik sudah menjadi makanan sehari-hari. Kondisi semacam ini tentu memprihatinkan.
Apalagi tak hanya terjadi dalam seminggu dua minggu juga bukan berbulan- bulan, tetapi bertahuntahun. Sampai sekarang warga Medan, misalnya, masih mengalami hal ini. Begitu juga di Kalimantan Timur, provinsi yang katanya menjadi lumbung energi nasional, kekurangan pasokan listrik masih menjadi masalah serius. Birokrasi kita sendiri sudah terlalu kaku.
Untuk membuat mesin berputar, kita tak bisa memakai cara-cara biasa. Harus didobrak. Dan ini menjadi masalah serius dalam pemerintahan Jokowi yang berambisi membangun 35.000 MW dalam lima tahun ke depan. Padahal, mesin birokrasi yang ada hanya terbukti mampu membangun 1.000–2.000 MW setahun.
Artinya mesin birokrasi dan mindset semua elemen harus berubah. Ya birokrasi, ya auditornya, juga penyidik dan penegak hukumnya. Harus bijak dan tepat membedakan mana yang benar dan mana yang kriminal. Bila tidak, korbannya akan banyak. Dahlan telah melakukannya. Ia membongkar aturan, menerabas kebekuan, mencari celah untuk menyiasati SOP. Begitulah, Dahlan memang seorang entrepreneur.
Perangkap SOP
Di mata saya, mungkin Dahlan menabrak SOP. Tapi, korupsi? Saya kurang yakin. Orang korupsi biasanya untuk memperkaya diri. Dahlan? Dia sudah kaya bahkan jauh sebelum menjadi dirut PLN. Saya teringat ucapan Dahlan tentang mengapa ia mau menjadi dirut PLN.
Pascatransplantasi hati di China, ia merasa sangat bersyukur karena masih diberi ”nyawa kedua”. Sebagai ungkapan syukurnya, ia ingin menyumbangkan tenaganya bagi negara, di antaranya dengan mau menjadi dirut PLN. Bahkan untuk itu, Dahlan sampai harus melanggar larangan istrinya. Sang istri meminta Dahlan agar menolak permintaan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, melalui menteri BUMN, untuk menjadi dirut PLN.
Kini, akibat melanggar larangan istri, Dahlan seakan kena tulah. Ia dijadikan tersangka korupsi. Kasus Dahlan jelas bukan satu-satunya. Ada beberapa pejabat kita—beberapa di antaranya, saya tahu, adalah orangorang yang bersih—terpaksa masuk penjara karena menabrak SOP. Mereka tak melulu pejabat tinggi. Beberapa bahkan tak pernah membelikan istrinya tas bermerek dari Italia atau Prancis.
Bukan karena ingin mencuri uang negara dan memperkaya dirinya sendiri. Tapi begitulah hukum, kadang ia buta. Persis seperti simbolnya, patung Dewi Themis, dewi keadilan, yang matanya tertutup.
Rhenald Kasali
Pendiri Rumah Perubahan @Rhenald_Kasali
source: http://nasional.sindonews.com/read/1011357/18/dahlan-dan-negeri-sop-1433988503/2
0 Comments