DISKRESI
Bila diperhatikan secara lebih cermat, dari hal-hal yang secara keseluruhan diatur dalam undang-undang no.30 tahun 2014, dapat dikatakan bahwa tampaknya undang-undang tersebut berusaha mewadahi berbagai ketentuan yang selama ini telah dilaksanakan dalam praktek ke dalam sebuah dokumen hukum. Tujuannya adalah agar terdapat kepastian hukum dan keseragaman dalam penafsiran. Dengan lahirnya Undang-undang tersebut, berbagai pihak kini memiliki kepastian tentang pengertian administrasi pemerintahan, pejabat pemerintahan, maupun tindakan yang dilakukannya.
Yang sangat menarik untuk diperhatikan adalah bahwa, para penyusun benar-benar berusaha membatasi pengertian ‘administrasi’ sebagai ‘tata laksana pengambilan keputusan’ dalam aktivitas penyelenggaraan fungsi pemerintahan. Tanpa memasuki substansi kegiatan itu sendiri.
Bila dicermati Undang-Undang no. 30 tahun 2014 tersebut juga mengatur masalah DISKRESI untuk mengatasi persoalan konkret yang dihadapi. Namun demikian, tampaknya diskresi yang dimaksud di dalam undang-undang tersebut memiliki batasan-batasan yang secara rinci sudah sangat jelas. Yaitu, bilamana dalam penyelenggaraan pemerintahan para pejabat dihadapkan pada kemungkinan terjadinya stagnasi pemerintahan karena adanya peraturan perundang-undangan:
1. yang memberikan pilihan,
2. tidak mengatur,
3. tidak lengkap atau tidak jelas,.
Hal ini sejalan dengan maksud disusunnya diskresi dalam UU tersebut yang pada intinya ditujukan untuk :
a. Melancarkan penyelenggaraan pemerintahan;
b. Mengisi kekosongan hukum; dan
c. Mengatasi stagnasi pemerintahan dalam keadaan tertentu guna kemanfaatan dan kepentingan umum.
Satu hal lain yang tampaknya juga sangat menarik adalah, bahwa ketika mengatur tentang diskresi, undang-undang tersebut dengan tegas menyerahkan hal-hal yang terkait dengan Keuangan Negara pada undang-undang lain. Yaitu, tentunya kepada undang-undang Bidang Keuangan Negara, khususnya Undang-undang No. 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Pengaturan tersebut termaktub dalam Pasal 25 ayat (1) dan ayat (2). [3]
Dalam kaitan ini, yang tampaknya perlu dikoreksi adalah adanya pernyataan dalam ayat (2) yang mengatakan bahwa ‘diskresi memerlukan persetujuan Atasan bila menimbulkan akibat hukum yang berpotensi membebani keuangan negara’. Artinya, dengan menggunakan argument a contra rio, bila diskresi yang diputuskan yang berpotensi mengubah alokasi anggaran tidak menimbulkan akibat hukum yang berpotensi membebani keuangan negara, maka diskresi tersebut tidak perlu memperoleh persetujuan dari Atasan Pejabat.
PENERAPAN DISKRESI DAN IMPLIKASINYA
a. Arahan Presiden
Menghadapi situasi yang cukup sulit dalam pelaksanaan anggaran, khususnya terkait dengan penyerapan dana anggaran yang relatif rendah oleh hampir seluruh Kementerian/ Lembaga, beberapa waktu lalu Pemerintah telah menerbitkan arahan yang terdiri dari lima butir. Bila diperhatikan secara seksama, arahan dimaksud, pada prinsipnya, menegaskan bahwa berbagai pihak harus dengan cermat membedakan perbuatan salah dalam pengelolaan keuangan negara yang bersifat administratif dan bersifat non-administratif beserta penanganan penyelesaian kerugian negaranya.
Yang menarik adalah bahwa dalam arahan dimaksud terdapat pernyataan yang dapat menimbulkan salah pemahaman berbagai pihak. Bukan saja para pejabat pengelola keuangan, tetapi juga para auditor, maupun para penegak hukum. Pernyataan dimaksud terdapat dalam butir satu yang menyatakan bahwa ‘ diskresi keuangan tidak bisa dipidanakan’.
Dengan mengacu pada uraian sebagaimana disampaikan dalam angka romawi 2 di atas, makna yang terkandung dalam arahan tersebut harus dipahami secara komprehensif, dan perlu disikapi dengan bijak. Kecuali dalam keadaan force majeur, pengertian diskresi keuangan di atas harus dimaknai sebagai diskresi operasional atau hanya bersifat administratif. Oleh sebab itu, arahannya jelas. Yaitu, tidak layak untuk dipidanakan !
b. Implikasi
Menyikapi arahan tersebut berbagai pihak kini telah menyiapkan atau bahkan telah mengambil langkah-langkah dengan menyusun ketentuan pelaksanaan. Namun sayangnya, berbagai langkah yang dipersiapkan tampaknya cenderung tidak sejalan dengan konsepsi pengelolaan keuangan negara.
Di sisi lain, pihak aparat penegak hukum menjadi ragu ketika mengambil langkah dalam menangani kasus-kasus yang merugikan negara. Keraguan dimaksud dipicu pula oleh langkah Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang merekomendasikan agar kerugian negara yang terjadi di berbagai unit satuan kerja untuk dikembalikan kepada negara dalam tempo 60 hari. Padahal,dalam kenyataan, tidak semua kejadian kerugian negara dimaksud terjadi di ranah administratif. Lagi pula, pernyataan ‘untuk dikembalikan kepada negara dalam tempo 60 hari’ tampaknya sekedar mengadopsi penyelesaian administrasi yang selama ini menjadi patokan keputusan BPK yang sebenarnya memerlukan proses dan prosedur berbeda. Bukan semuanya digebyah seperti itu.
K E S I M P U L A N
Dari pembahasan di atas kiranya dapat disimpulkan sebagai berikat :
1 Diskresi substansial, secara prinsip, hanya dapat dilakukan bila terjadi situasi force majeur.
2. Diskresi yang termaktub dalam UU no. 30 tahun 2014 hanya terkait dengan tindakan-tindakan administratif para Pejabat Pemerintahan.
3. Diskresi yang termaktub dalam UU no. 30 tahun 2014 tidak mencakup diskresi dalam hal keuangan negara.
eDPAS SISWO SUJANTO
1 Comments
masukan yang berarti...
ReplyDelete