Dalam DPA, paket
pengadaan AC sebesar Rp. 295.000.000,-
dirincikan menjadi 3 item, yaitu :
1. AC 1 PK (5 unit) dengan harga satuan 6.000.000 =
30.000.000
2. AC 2 PK :15
unit dengan harga satuan 9.000.000 =
135.000.000
3. AC Cassete 2 PK : 5 unit dengan harga satuan
26.000.000 = 130.000.000
Sedangkan HPS untuk
paket ini adalah :
1. AC 1 PK (5 unit)
dengan harga satuan 5.000.000 = 25.000.000
2. AC 2 PK :15
unit dengan harga satuan 8.000.000 = 120.000.000
3. AC Cassete 2 PK : 5 unit dengan harga satuan 20.000.000 = 100.000.000
Setelah ditambah PPN 10%,
Total HPS = Rp. 269.500.000
Sedangkan saat dilelang, harga penawaran dari pemenang lelang
adalah sebagai berikut :
1. AC 1 PK (5 unit)
dengan harga satuan 6.000.000 =
30.000.000
2. AC 2 PK :15
unit dengan harga satuan 7.000.000 = 105.000.000
3. AC Cassete 2 PK : 5 unit dengan harga satuan 19.000.000 = 95.000.000
Setelah ditambah PPN 10%,
Total HPS = Rp. 253.000.000
Pada saat lelang,
Pokja ULP melakukan klarifikasi terhadap harga satuan AC 1 PK yang dianggap harga satuan timpang, dan kesimpulannya harga AC 1 PK sesuai spesifikasi yang diminta berkisar di atas Rp. 6 jt.
Nah, setelah kontrak selesai, pada saat pencairan uang muka,
pihak keuangan tidak bisa mencairkan
dengan alasan nilai satuan
penawaran AC 1 PK lebih tinggi dari harga
satuan pagu dalam DPA, walaupun nilai total penawaran lebih rendah dari nilai total HPS.
Bagaimana kami menindaklanjuti kasus seperti ini?
Agar dilakukan addendum kontrak untuk dapat
melaksanakan kegiatan tersebut, dengan nilai kontrak tetap.
0 Comments