Pengadaan kapal dgn kontrak lumsum trus jadi 40% dlm bentuk rangka dan terjadi pemutusan kontrak....apa bisa diakui dan dibayar?
Itu kapal...jelas kerangka badannya...
Saya pernah dipanggil bpkp... pekerjaan konsultan dihentikan dgn prestasi 40% adalah hanya kertas laporan di meja
Saya pernah ada pengalaman dgn kontrak konsultan internasional yg akan diputus oleh donor. Kontrak lumpsum, sebetulnya sdh dikerjakan semua proses dan surveynya, serta lap pendahuluan, antara dan draft final report, tinggal mengemas dlm bentuk final report. Tp waktu sdh habis dan konsultan ngga sanggup lagi. Dilakukan assessment teknis oleh donor, dan diputuskan perlu diselesaikan oleh konsultan individu yg sangat berpengalaman. (Mahal). Meskipun secara termin pembayaran kurang 15% saja, tp karena butuh dana besar untuk menyelesaikan maka ditawarkan ke konsultan untuk cuma dibayar 60%. Dan konsultan langsung menerima. Kontrak diputus, tp konsultan tdk diblacklist, hanya score performa kurang baik. Konsultan mundur dr proyek tsb. Lalu dengan sisa 40% dana kontrak tadi pekerjaan tbs bisa selesai oleh konsultan pengganti. Semua fokus ke outputnya, bukan ke hiruk pikuk blacklist, pidana dan kerugiannya.
Syarat pembayaran selalu harus diatur dalam SSKK dan RKS tentang pengakuan atas progres dan itu merupakan syarat yg dikompetisikan, shg tidak boleh dirubah setelah berkontrak, sama dgn uang muka atau penyesuaian harga pada kontrak multi tahun.
Dalam RKS sejak perencanaan sdh ditentukan syarat pengakuan atas progres suatu pekerjaan spy tidak jadi dispute ketika kontraktor mengajukan SPP. Biasanya di tetapkan per milestone pekerjaan.
Misalnya dlm RKS ditetapkan.
1. Pek Pondasi pancang sampai pilecap.
2. Pek slab lantai dasar, struktur sloop, kolom, balok, slab suspended lantai 1.
3. Pek Sloop, kolom, balok, supended slab lantai 2
Dst.
Bila terjadi putus kontrak di tengah milestone yg di tentukan, maka lihat pengaturan selanjutnya di Rks.
Kita tidak bisa mengacu pada selain kontrak, apalagi mengarang-ngarang. Back to contract .
Makanya dalam menyusun draft kontrak perlu orang yg faham thd pekerjaan tsb. Jangan sudah berkontrak terjadi dispute baru kita cari pasalnya di kontrak.
Mendesign kontraknya itu masih banyak yg tidak terlatih. Banyak yg sekedar mengikuti pendahulunya.
Nah, ini baru para pihak yg berorientasi output utk kontrak LS.
Dan tidak mesti kerugian negara apalagi tipikor ya pak
Asal tipikor itu tindakan akibat pikiran kotor. 😄😄 cari mens reanya yang terbukti seperti adanya kolusi , intevensi negatif pimpinan dan suap
Apalagi bila terjadi dispute kemudian masuk proses litigasi, trus ngundang pemberi keterangan ahli tapi tidak faham pekerjaan yg jadi sengketa jadinya pemberi keterangan ahli mengarang.
Pemberi Keterangan Ahli pengadaan harus lihat peraturan UU yg digunakan. Kalau UU perben, orientasinya kerugian atau efisiensi. Kalau ilmu pengadaan, laaah siaal belum ada UUnya.
Elegant..
Tidak connect pidana
Pidana adalah upaya terakhir sekaliiiii
Dispute dlm berkontrak bukan delik pidana pak lebih pada perdata.... tapi bisa jadi pidana bila ada unsur penipuan.
Kalau arbitrase, yg dipegang kontrak sbg UU. Kalau hakim PN, pasti melihat perundangan yg berlaku
Makanya dalam kontrak besar yg kompleks selalu kontraktor membawa lawyer sbg pendamping dalam negosiasi sebelum kontrak di tt kontrak. Krn dlm rks biasanya ada kewajiban yg sifatnya mandatory (kewajiban) tapi tidak ada item biayanya di boq, yg merupakan resiko pekerjaan. Spt rambu dan pengaturan lalulintas, diversion channel, air buangan (water conveying), pembuangan limbah B3, dll.
Sangat disayangkan penerapan kontrak yang tidak selesai di Indonesia seringkali bukan dicari solusi penyelesaiaannya tetapi dibawa bawa dicari cari salah dan adakah kerugian negaranya terus disangkakan ke perbuatan tipikor.
Tulisan ini adalah gabungan komentar banyak pihak di group WA.
0 Comments