Anggaran untuk suatu paket
pengadaan genset adalah sebesar Rp. 1,4 miliar
Dibuat HPS sebesar Rp. 1.25
miliar
No.
|
Nama Penyedia
|
Rp
|
Rangking
|
1
|
PT ABC
|
980 juta
|
1
|
2
|
PT KKK
|
995 juta
|
2
|
3
|
PT WWW
|
1.050 juta
|
3
|
4
|
PT EEE
|
1.110 juta
|
4
|
5
|
PT XXX
|
1.140 juta
|
5
|
Ada beberapa model kasus :
1.
HPS
telah dibuat secara prosedural
Pelelangan
terjadi persaingan, menggunakan SPSE ==>
tidak masalah
Pelelangan tidak
terjadi persaingan, terjadi pengaturan. Yang terlibat dikenakan sanksi dan
penyedia yang kontrak terlibat maka tidak boleh menerima keuntungan
2.
HPS
telah dibuat secara prosedural, tetapi tidak ditanyakan mengenai diskon atau
potongan harga
Tidak aturan
secara nyata mengenai dalam survey harus menanyakan tentang diskon atau
potongan harga, sehingga bila tidak dilakukan tidak melanggar suatu aturan.
Namun demikian
untuk mendapatkan harga yang sebenarnya dalam mencari data harga agar
menanyakan potongan harga.
Pelelangan
terjadi persaingan, menggunakan SPSE ==>
tidak masalah
Pelelangan tidak
terjadi persaingan, terjadi pengaturan. Yang terlibat dikenakan sanksi dan
penyedia yang kontrak, terlibat maka tidak boleh menerima keuntungan
3.
HPS
tidak dibuat secara prosedural
Pelelangan
terjadi persaingan, menggunakan SPSE, harga kontrak yang terjadi sesuai harga
pasarnya ==>
tidak masalah
Pelelangan tidak
terjadi persaingan, terjadi pengaturan. Yang terlibat dikenakan sanksi dan
penyedia yang kontrak, terlibat maka tidak boleh menerima keuntungan .
Bila penyedia
yang kontrak tidak terlibat maka boleh adanya keuntungan dalam pekerjaan ini.
HPS tidak buat
secara prosedural, maka dilihat kontraknya apakah sesuai dengan harga pasar.
Contoh, yang
menang adalah PT ABC dengan harga Rp 980 juta. Apakah harga ini sudah sesuai
dengan kewajaran harga pasar. KEWAJARAN dilihat dari PT ABC kontrak dalam transaksi lainnya. Atau dilihat
dari harga pada penyedia yang satu level dengan PT ABC.
Bila masih dalam range (Rp 1140 juta - 900 juta) penyedia yang satu level, ya tidak masalah. Bila melebihi range maka perlu dicermati ada perbedaan di aspek pekerjaan/barang apa.
Jangan dilihat
cara mencari adanya kerugian negara dilihat dari bagaimana harga yang didapat oleh PT ABC dari pemasoknya.
Suatu kesalahan
menghitung kerugian Negara bila menghitung PT ABC menjual Rp 980 juta sedangan harga
perolehannya dari pemasok adalah Rp. 680 juta sehingga 980-680 negara rugi 300
juta. (Disini keuntungan lebih dari
10%).
Andaikata
Saudara pembaca sebagai pemain baru, bisa jadi hanya memperoleh pada harga 930
juta akankah dinilai kerugian Negara sebesar Rp 980-930= 50 juta. Keuntungan
sekitar 5%, lalu dimana sifat pastinya kerugian Negara itu.
Kesimpulannya, dalam pelelangan yang sesuai
aturan, penyedia boleh untung berapapun , sedangkan untuk membuat HPS bila
belum ada keuntungan dapat diberikan 10%
atau 15% kalau ada overhead.
Berikutnya dalam
hal tidak diketemukan penyedia yang selevel maka untuk menemukan harga
kewajaran harga pasarnya kita dapat mencari kewajaran harga dari nilai
perolehan nya dengan ditambahkan keuntungan, contoh perolehan penyedia PT ABC Rp. 680 juta dengan keuntungan
sebesar 10% dan PPN 10% jadi 680 + 68 +
74,8 = 882,8
Dalam
hal ada overhead bisa 15% dengan PPN 10% jadi 680 + 102 + 78,2 = 860.2
Kesimpulannya
untuk mencari kewajaran harga pasar, yang tidak ditemukan informasi harga dari penyedia
lain dalam satu level maka digunakan harga perolehan.
Kenapa
metode harga perolehan tidak layak digunakan bila penyedianya banyak.
Jawabannya bisnis adalah bertandingnya banyak keunggulan (competitive advantage)
dan motivasi penyedia. Kalau semua diminta seragam keuntungannya 10%, ya jangan lelang dong !
Penyedia
satu level itu bagaimana ?
Level
pabrikan dengan pabrikan
Level
distributor dengan distributor
Level
agen dengan agen
Level
pengecer dengan pengecer.
Terjadi
kerugian Negara agar disetor saja.
Suatu
tindakan pidana itu kalau melanggar seperti suap/gratifikasi, pemalsuan dan pekerjaan
fiktif. Inilah aspek yang harus dicermati oleh aparat penegak hukum.
Mohon
dicatat, tulisan ini belum tentu dimaknai sepakat oleh auditor maupun oleh
aparat penegak hukum.
Pendapat
saya sepanjang tidak ada niat jahat yaitu tercermin dari menerima suap dan
tindakan pidana lainnya maka pengadaan adalah wilayah hukum administrasi Negara
dan perdata.
Jangan
sampai kesejahteraan negeri tidak terwujud karena semua orang tidak mau
membelanjakan anggaran Negara/daerah karena ketika salah prosedural akan dipidanakan.
Aturan
perpres pengadaan adalah aturan prosedural administrasi belanja Negara, sepanjang tidak
ada niat jahat yang tercermin dari aliran gratifikasi dan tindakan pidana lainnya (pemalsuan atau pekerjaan fiktif).
4 Comments
Untuk sementara, komentar saya sebagai berikut:
ReplyDelete1. Berkenaan dg masalah kemahalan (ketidakwajaran) harga, itu sangat bergantung pada cara penyusunan HPS. Bila HPS sudah disusun dengan "baik dan benar", maka seyogyanya dapat dihindari munculnya masalah tersebut.
2. Untuk mengaitkan masalah kerugian negara dengan tipikor, saran saya, coba diuraikan lebih dalam mengenai definisi tipikor. Dari definisi tersebut, nanti bisa kita tentukan apakah masalah kerugian negara tersebut memenuhi/tidak memenuhi unsur-unsur tipikor.
Semoga komentar ini bermanfaat. Mohon koreksi bila ada hal-hal yang tidak tepat.
Ijin sharing....
ReplyDeleteKarena negara kita adalah negara hukum, maka suatu tindakan dinyatakan benar atau salah haruslah disandarkan kepada hukum yang berlaku. Kata 'seharusnya' harus bisa merujuk kepada pasal (ayat) aturan yang berlaku. Demikian juga penerapan pasalnya, harus relevan.
Berikut ini pendapat pribadi saya namun berusaha dibingkai dengan ketentuan sehingga bisa didiskusikan secara sehat.
1. Definisi kerugian negara... always (selalu) saya sandarkan kepada uu no 1/2004 tth perbend negara. pasal 1 angka 22 jelas mendefinisikan... " kerugian negara adalah kekurangan uang, surat berharga dan barang yg NYATA dan PASTI jumlahnya sgb akibat PERBUATAN MELAWAN HUKUM baik SENGAJA maupun LALAI.
2. Dengan demikian, suatu perbuatan yg tidak melanggar hukum tidak bisa dianggap kerugian negara. (meski tdk pas, tapi saya coba gunakan analogi kasus presenter (RA) yg menggunakan sejenis psikotropika, tapi uu blm mengatur bahan tsb...)
3. Pernyataan 1 dan 2 menimbulkan suatu simpulan... kerugian negara adalah akibat dari perbuatan melawan hukum, bukan kondisi atau bukan 'temuan' dlm istilah audit....
4. Kasus yg p Muji ilustrasikan jelas... HPS sudah disusun dengan benar. perpres dan perka tidak menyebut secara khusus ttg diskon tapi harga pasar. Disini tidak bisa digeneralisir harus atau tidak harus hitung diskon. Contoh ramayana yg jelas tiap hari diskon... misal 20%. Berapa harga pasar sebenarnya? (pasar bukan satu titik waktu tp kontinum kesinambungan waktu dilokasi tertentu)... sudah jelas 80% krn strategi pasarnya spt itu. (alat kesehatan konon spt ramayan... tp gelap % nya... afgan or sadis kadang2). yg kedua, matahari dept store ultah n kasih diskon spesial 20% selama 4 hari. Setelah itu normal. Berapa harga pasar? Utk pengadaan langsung yg 1 hari bisa kelar, hps ya 80%. Tapi bila lelang... jelas 100%. (hari ke 5 harga sudah normal). Bgm bila discount terkait volume? ... ini petlu dijawab dg rumus or gambar demand n supply di ekonomi. jelas menurut gambar tsb diskon volume harus dihitung... misal beli 1 rp 100, beli 10 rp900 dst... maka supply yg menunjukan market adalah sudah diskon volume...
5. Masalah berapa keuntungan penyedia maksimal? Silahkan cari di uu perpres perka peraturan menteri hingga rt, ..
Saya yakin tidak ada yg mengatur. Lantas yg 15%?... itu diperpres pbj dan itu jelas untuk HPS bukan mengatur penjual...
Dengan demikian saya sependapat dg pak Muji...
bagaimana jika pekerjaan telah dilakukan penarikan uang muka sebesar 20%, dan telah diberikan penambahan waktu ( adendum ) kemudian rekanan tidak dapat menyelesaikan pekerjaannya sehingga dilakukan pemutusan kontrak. Selanjutnya rekanan dikenakan denda dan harus mengembalikan dana tersebut ke PAD / KASDA Pemerintah. Akan tetapi setelah disurati kepada perusahaan belum juga terlunasi hingga saat ini. Bagaimana tanggapan Sdr. mengenai kasus tersebut, apakah pengembalian anggaran DP ( uang muka ) tersebut ada ketentuan yang berlaku serta denda yang dikenakan sebanyak 5% dari nilai kontrak harus dibayarkan. Apakah waktu pembayaran tersebut dapat dilakukan dengan pencicilan atau tempo waktu ? terima kasih
ReplyDeletewah ilmu yang berharga
ReplyDelete