header 2

𝘉𝘭𝘰𝘨 𝘪𝘯𝘪 𝘩𝘢𝘯𝘺𝘢 𝘱𝘦𝘯𝘥𝘢𝘱𝘢𝘵 𝘱𝘳𝘪𝘣𝘢𝘥𝘪 𝘶𝘯𝘵𝘶𝘬 𝘮𝘦𝘯𝘥𝘶𝘬𝘶𝘯𝘨 𝘬𝘦𝘮𝘢𝘫𝘶𝘢𝘯 𝘐𝘯𝘥𝘰𝘯𝘦𝘴𝘪𝘢 𝘮𝘦𝘭𝘢𝘭𝘶𝘪 𝘱𝘦𝘯𝘨𝘢𝘥𝘢𝘢𝘯 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘮𝘶𝘥𝘢𝘩 , 𝘦𝘧𝘪𝘴𝘪𝘦𝘯,𝘦𝘧𝘦𝘬𝘵𝘪𝘧,𝘵𝘳𝘢𝘯𝘴𝘱𝘢𝘳𝘢𝘯,𝘣𝘦𝘳𝘴𝘢𝘪𝘯𝘨, 𝘢𝘥𝘪𝘭/𝘵𝘪𝘥𝘢𝘬 𝘥𝘪𝘴𝘬𝘳𝘪𝘮𝘪𝘯𝘢𝘵𝘪𝘧 𝘥𝘢𝘯 𝘢𝘬𝘶𝘯𝘵𝘢𝘣𝘦𝘭.

PERLU DITINJAU MENGHITUNG KERUGIAN NEGARA DARI NILAI PEROLEHANNYA


Anggaran untuk suatu paket pengadaan genset adalah sebesar Rp. 1,4 miliar
Dibuat HPS sebesar Rp. 1.25 miliar
No.
Nama Penyedia
Rp
Rangking
1
PT ABC
980 juta
1
2
PT KKK
995 juta
2
3
PT WWW
1.050 juta
3
4
PT EEE
1.110 juta
4
5
PT XXX
1.140 juta
5

Ada beberapa model kasus :

1.       HPS telah dibuat secara prosedural
Pelelangan terjadi persaingan, menggunakan SPSE ==> tidak masalah
Pelelangan tidak terjadi persaingan, terjadi pengaturan. Yang terlibat dikenakan sanksi dan penyedia yang kontrak terlibat maka tidak boleh menerima keuntungan

2.       HPS telah dibuat secara prosedural, tetapi tidak ditanyakan mengenai diskon atau potongan harga
Tidak aturan secara nyata mengenai dalam survey harus menanyakan tentang diskon atau potongan harga, sehingga bila tidak dilakukan tidak melanggar suatu aturan.
Namun demikian untuk mendapatkan harga yang sebenarnya dalam mencari data harga agar menanyakan potongan harga.
Pelelangan terjadi persaingan, menggunakan SPSE ==> tidak masalah
Pelelangan tidak terjadi persaingan, terjadi pengaturan. Yang terlibat dikenakan sanksi dan penyedia yang kontrak, terlibat maka tidak boleh menerima keuntungan

3.       HPS tidak dibuat secara prosedural
Pelelangan terjadi persaingan, menggunakan SPSE, harga kontrak yang terjadi sesuai harga pasarnya ==> tidak masalah
Pelelangan tidak terjadi persaingan, terjadi pengaturan. Yang terlibat dikenakan sanksi dan penyedia yang kontrak, terlibat maka tidak boleh menerima keuntungan .

Bila penyedia yang kontrak tidak terlibat maka boleh adanya keuntungan dalam pekerjaan ini.

HPS tidak buat secara prosedural, maka dilihat kontraknya apakah sesuai dengan harga pasar.
Contoh, yang menang adalah PT ABC dengan harga Rp 980 juta. Apakah harga ini sudah sesuai dengan kewajaran harga pasar. KEWAJARAN dilihat dari PT ABC  kontrak dalam transaksi lainnya. Atau dilihat dari harga pada penyedia yang satu level dengan PT ABC.
Bila masih dalam range (Rp 1140 juta - 900 juta) penyedia yang satu level, ya tidak masalah. Bila melebihi range maka perlu dicermati ada perbedaan di aspek pekerjaan/barang apa.
Jangan dilihat cara mencari adanya kerugian negara dilihat dari bagaimana harga yang didapat oleh PT ABC dari pemasoknya.

Suatu kesalahan menghitung kerugian Negara bila menghitung PT ABC menjual Rp 980 juta sedangan harga perolehannya dari pemasok adalah Rp. 680 juta sehingga 980-680 negara rugi 300 juta.  (Disini keuntungan lebih dari 10%).

Andaikata Saudara pembaca sebagai pemain baru, bisa jadi hanya memperoleh pada harga 930 juta akankah dinilai kerugian Negara sebesar Rp 980-930= 50 juta. Keuntungan sekitar 5%, lalu dimana sifat pastinya kerugian Negara itu.

Kesimpulannya, dalam pelelangan yang sesuai aturan, penyedia boleh untung berapapun , sedangkan untuk membuat HPS bila belum ada keuntungan dapat diberikan  10% atau 15% kalau  ada overhead.

Berikutnya dalam hal tidak diketemukan penyedia yang selevel maka untuk menemukan harga kewajaran harga pasarnya kita dapat mencari kewajaran harga dari nilai perolehan nya dengan ditambahkan keuntungan, contoh perolehan  penyedia PT ABC Rp. 680 juta dengan keuntungan sebesar 10% dan PPN 10% jadi  680 + 68 + 74,8 = 882,8
Dalam hal ada overhead bisa 15% dengan PPN 10% jadi 680 + 102 + 78,2 =  860.2         

Kesimpulannya untuk mencari kewajaran harga pasar, yang tidak ditemukan informasi harga dari penyedia lain dalam satu level maka digunakan harga perolehan.

Kenapa metode harga perolehan tidak layak digunakan bila penyedianya banyak. Jawabannya bisnis adalah bertandingnya banyak keunggulan (competitive advantage) dan motivasi penyedia. Kalau semua diminta seragam keuntungannya 10%, ya jangan lelang dong !

Penyedia satu level itu bagaimana ?
Level pabrikan dengan pabrikan
Level distributor dengan distributor
Level agen dengan agen
Level pengecer dengan pengecer.

Terjadi kerugian Negara agar disetor saja.

Suatu tindakan pidana itu kalau melanggar seperti suap/gratifikasi, pemalsuan dan pekerjaan fiktif. Inilah aspek yang harus dicermati oleh aparat penegak hukum.

Mohon dicatat, tulisan ini belum tentu dimaknai sepakat oleh auditor maupun oleh aparat penegak hukum.

Pendapat saya sepanjang tidak ada niat jahat yaitu tercermin dari menerima suap dan tindakan pidana lainnya maka pengadaan adalah wilayah hukum administrasi Negara dan perdata.
Jangan sampai kesejahteraan negeri tidak terwujud karena semua orang tidak mau membelanjakan anggaran Negara/daerah karena ketika salah prosedural akan dipidanakan.
Aturan perpres pengadaan adalah aturan prosedural administrasi belanja Negara, sepanjang tidak ada niat jahat yang tercermin dari aliran gratifikasi dan tindakan pidana lainnya (pemalsuan atau pekerjaan fiktif).



Post a Comment

4 Comments

  1. Untuk sementara, komentar saya sebagai berikut:
    1. Berkenaan dg masalah kemahalan (ketidakwajaran) harga, itu sangat bergantung pada cara penyusunan HPS. Bila HPS sudah disusun dengan "baik dan benar", maka seyogyanya dapat dihindari munculnya masalah tersebut.
    2. Untuk mengaitkan masalah kerugian negara dengan tipikor, saran saya, coba diuraikan lebih dalam mengenai definisi tipikor. Dari definisi tersebut, nanti bisa kita tentukan apakah masalah kerugian negara tersebut memenuhi/tidak memenuhi unsur-unsur tipikor.

    Semoga komentar ini bermanfaat. Mohon koreksi bila ada hal-hal yang tidak tepat.

    ReplyDelete
  2. Ijin sharing....
    Karena negara kita adalah negara hukum, maka suatu tindakan dinyatakan benar atau salah haruslah disandarkan kepada hukum yang berlaku. Kata 'seharusnya' harus bisa merujuk kepada pasal (ayat) aturan yang berlaku. Demikian juga penerapan pasalnya, harus relevan.
    Berikut ini pendapat pribadi saya namun berusaha dibingkai dengan ketentuan sehingga bisa didiskusikan secara sehat.
    1. Definisi kerugian negara... always (selalu) saya sandarkan kepada uu no 1/2004 tth perbend negara. pasal 1 angka 22 jelas mendefinisikan... " kerugian negara adalah kekurangan uang, surat berharga dan barang yg NYATA dan PASTI jumlahnya sgb akibat PERBUATAN MELAWAN HUKUM baik SENGAJA maupun LALAI.
    2. Dengan demikian, suatu perbuatan yg tidak melanggar hukum tidak bisa dianggap kerugian negara. (meski tdk pas, tapi saya coba gunakan analogi kasus presenter (RA) yg menggunakan sejenis psikotropika, tapi uu blm mengatur bahan tsb...)
    3. Pernyataan 1 dan 2 menimbulkan suatu simpulan... kerugian negara adalah akibat dari perbuatan melawan hukum, bukan kondisi atau bukan 'temuan' dlm istilah audit....
    4. Kasus yg p Muji ilustrasikan jelas... HPS sudah disusun dengan benar. perpres dan perka tidak menyebut secara khusus ttg diskon tapi harga pasar. Disini tidak bisa digeneralisir harus atau tidak harus hitung diskon. Contoh ramayana yg jelas tiap hari diskon... misal 20%. Berapa harga pasar sebenarnya? (pasar bukan satu titik waktu tp kontinum kesinambungan waktu dilokasi tertentu)... sudah jelas 80% krn strategi pasarnya spt itu. (alat kesehatan konon spt ramayan... tp gelap % nya... afgan or sadis kadang2). yg kedua, matahari dept store ultah n kasih diskon spesial 20% selama 4 hari. Setelah itu normal. Berapa harga pasar? Utk pengadaan langsung yg 1 hari bisa kelar, hps ya 80%. Tapi bila lelang... jelas 100%. (hari ke 5 harga sudah normal). Bgm bila discount terkait volume? ... ini petlu dijawab dg rumus or gambar demand n supply di ekonomi. jelas menurut gambar tsb diskon volume harus dihitung... misal beli 1 rp 100, beli 10 rp900 dst... maka supply yg menunjukan market adalah sudah diskon volume...
    5. Masalah berapa keuntungan penyedia maksimal? Silahkan cari di uu perpres perka peraturan menteri hingga rt, ..
    Saya yakin tidak ada yg mengatur. Lantas yg 15%?... itu diperpres pbj dan itu jelas untuk HPS bukan mengatur penjual...

    Dengan demikian saya sependapat dg pak Muji...

    ReplyDelete
  3. bagaimana jika pekerjaan telah dilakukan penarikan uang muka sebesar 20%, dan telah diberikan penambahan waktu ( adendum ) kemudian rekanan tidak dapat menyelesaikan pekerjaannya sehingga dilakukan pemutusan kontrak. Selanjutnya rekanan dikenakan denda dan harus mengembalikan dana tersebut ke PAD / KASDA Pemerintah. Akan tetapi setelah disurati kepada perusahaan belum juga terlunasi hingga saat ini. Bagaimana tanggapan Sdr. mengenai kasus tersebut, apakah pengembalian anggaran DP ( uang muka ) tersebut ada ketentuan yang berlaku serta denda yang dikenakan sebanyak 5% dari nilai kontrak harus dibayarkan. Apakah waktu pembayaran tersebut dapat dilakukan dengan pencicilan atau tempo waktu ? terima kasih

    ReplyDelete