Apakah pembayaran kontrak jasa konsultansi yang menggunakan kontrak lumpsum masih diperlukan Rincian Bukti ". Kemudian apakah tidak diperlukan adanya rincian pembayaran seperti daftar hadir , tiket perjalanan dan sebagainya.
Dalam PP 45 tahun 2013, tentang Tata Cara pelaksanaan APBN, pasal 65 ayat (1) Penyelesaian tagihan kepada Negara atas beban anggaran Belanja Negara yang tertuang dalam APBN dilaksanakan berdasarkan hak dan bukti yang sah untuk memperoleh pembayaran.
Maksud saya dalam jasa konsultansi, baik perencanaan maupun pengawasan berupa Biaya Langsung Personil (BLP) dan BLNP kan merupakan belanja atas beban APBN juga. Sehingga menurut kami tetap diperlukan bukti2 yang sah berupa bukti pembelian, apabila dipergunakan untuk membeli, kwitansi sewa bila untuk menyewa dan daftar penerimaan upah serta daftar hadir apabila di gunakan untuk upah, beserta pajak2 yang harus di bayar sesuai ketentuan.
Demikian pendapat saya, atas perhatiannya diucapkan terimakasih
Tentunya dalam dokumen penawaran , tidak ada rinciannya
pembayaran dilakukan atas capaian output,
diwujudkan dalam termin yang dicapai atau dibayar sekaligus sesuai nilai kontrak dalam hal pekerjaan selesai
bagaimana kita bisa menuntut rinncian sedangkan dalam penawarannya tidak ada rinciannya.
yang sering terjadi dalam skema kontrak lumps sum penyedia seringkali juga menyampaikan rincian harga item ( ini salah)
Dalam PP 45 tahun 2013, tentang Tata Cara pelaksanaan APBN, pasal 65 ayat (1) Penyelesaian tagihan kepada Negara atas beban anggaran Belanja Negara yang tertuang dalam APBN dilaksanakan berdasarkan hak dan bukti yang sah untuk memperoleh pembayaran.
Hak dan bukti yang sah tersebut sesuai kontraknya apa ? ya tentunya tagihan termin /tagihan sekaligus.
Untuk bisa dibayar pertermin, capaian apa yang harus disampaikan sesuai kontrak untuk bisa dibayar, bukan rincian pengeluaran.
.
Demikian selanjutnya bila ada pertanyaan agar disampaikan ke www.konsultasi.lkpp.go.id
3 Comments
Maksud "Penyelesaian tagihan kepada Negara atas beban anggaran Belanja Negara yang tertuang dalam APBN dilaksanakan berdasarkan hak dan bukti yang sah untuk memperoleh pembayaran" Menurut PP 45 2013 adalah
ReplyDelete1. Adanya kontrak kerja, dengan didukung oleh dokumen pengadaan
2. Sudah dilakukan pemeriksaan Hasil Pekerjaan
- Berita Acara Pemeriksaan Pekerjaan
3. Hasil Pekerjaan sudah sesuai dengan dokumen kontrak
saya belum menemukan dasar hukum yang mewajibkan penyedia jasa membuat spj (invoice). dalam pasal 49 (7) a. Harga Satuan yang dapat dinegosiasikan yaitu biaya langsung non-personil yang dapat diganti (reimburseable cost) dan/atau biaya langsung personil yang dinilai tidak wajar; sudah jelas untuk kepentingan negoisasi apabila harga nya dinilai tidak wajar. Sehingga istilah (reimburseable cost) bukan merupakan kewajiban penyedia jasa menyampaikan bukti pengeluarannya untuk penagihan.
sementara pengetian "at cost" dalam lampiran IV perpres 54 2010 adalah sebagai dasar penyusunan HPS artinya PPK dapat memperkirakan pengeluaran-pengeluaran konsultan yang sesungguhnya untuk mendapatkan hasil yang sesuai dengan KAK
kedua istilah tersebut muncul dalam tata cara pengadaan jasa konsultansi bukan tata cara pembayaran jasa konsultansi bukan tata cara pelaksanaan jasa konsultansi. tata cara pembayarannya sudah diatur dalam kontrak dan PP 45 2013
Perlu Bapak pahami sebagai "orang dalam" LKPP, bahwa perpres tentang tata pengadaan barang dan jasa pemerintah. dari seluruh isinya hanya tentang cara melaksanakan pengadaannya... tidak mengatur pelaksanaannya
Dan juga sebelum proses PBJ...khususnya jasa konsultansi....PPK kan menyusun KAK...HPS dll pak..
ReplyDeleteDalam menyusun HPS ..PPK membuat perkiraan biaya yg dituangkan di dalam HPS....
Lalu ditenderkan...dan ditawar oleh calon penyedia jasa...
Kemudian yg lolos seleksi dirangking...
Yg jadi nominasi pemenang seleksi kan ada proses klarifikasi dan negosiasi harga penawaran antara calon penyedia dengan panitia lelang/pokja ULP dgn mengacu pada HPS yg dibuat PPK...
Artinya berapapun harga yg tertera di dalam kontrak setelah hasil negosiasi sudah dianggap wajar dan bersifat final pak...
Kenapa pada saat ada audit..mesti menyampaikan kembali bukti2 pengeluaran atau belanja baik personil maupun non personil?...dalam bentuk invoice?.......bahkan yg lebih parah lagi..auditor meminta no kontak setiap tenaga kerja yg ada di dalam kontrak untuk melakukan klarifikasi....ini jadi horor.....
Maka akan jadi masalah2 terus menerus kalau persoalan in voice dijadikan dasar audit untuk pembayaran bukan out put penyedia jasa...sebab pasti akan selalu jadi temuan yg tidak berujung pangkal pak.
Efeknya penyedia jasa tidak akan pernah bisa berkembang dan bertahan sebab penyedia jasa tidak mempunyai kepastian mendapatkan penugasan secara terus menerus....tidak continyu sepanjang tahun..🙏🙏🤓🤓...dan tidak ada lagi tenaga ahli yg mau berkarya ...
Dimana perusahaan jasa konsultansi bisa mendapatkan rabat?..atau keuntungan..apabila hasil kroscek kepada tenaga ahli lalu ditemukan adanya selisih pembayaran real berbeda dengan yg tertuang didalam kontrak laku dijadikan temuan?...sementara antara perusahaan penyedia jasa dgn tenaga ahli juga sudah terikat kesepakan tentang besaran honorariumnya......
Mohon pencerahan kembali dari rekan2 yg ahlinya ah
mohon pencerahannya bapak...mengenai pelaksanaan pekerjaan jasa konsultansi pengawasan yang dilaksanakan, misal pelaksanaan pengawasan 2 bulan tetapi pada pelaksanaan pekerjaan fisik yang di awasi telah selesai dalam jangka waktu 1,5 bulan, pertanyaan nya apakah kontrak pengawasan dibayarkan penuh sesuai rencana 2 bulan atau dibayarkan sesuai dengan waktu penyelesaian fisik pekerjaan 1,5 bulan saja.
ReplyDelete