header 2

𝘉𝘭𝘰𝘨 𝘪𝘯𝘪 𝘩𝘢𝘯𝘺𝘢 𝘱𝘦𝘯𝘥𝘢𝘱𝘢𝘵 𝘱𝘳𝘪𝘣𝘢𝘥𝘪 𝘶𝘯𝘵𝘶𝘬 𝘮𝘦𝘯𝘥𝘶𝘬𝘶𝘯𝘨 𝘬𝘦𝘮𝘢𝘫𝘶𝘢𝘯 𝘐𝘯𝘥𝘰𝘯𝘦𝘴𝘪𝘢 𝘮𝘦𝘭𝘢𝘭𝘶𝘪 𝘱𝘦𝘯𝘨𝘢𝘥𝘢𝘢𝘯 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘮𝘶𝘥𝘢𝘩 , 𝘦𝘧𝘪𝘴𝘪𝘦𝘯,𝘦𝘧𝘦𝘬𝘵𝘪𝘧,𝘵𝘳𝘢𝘯𝘴𝘱𝘢𝘳𝘢𝘯,𝘣𝘦𝘳𝘴𝘢𝘪𝘯𝘨, 𝘢𝘥𝘪𝘭/𝘵𝘪𝘥𝘢𝘬 𝘥𝘪𝘴𝘬𝘳𝘪𝘮𝘪𝘯𝘢𝘵𝘪𝘧 𝘥𝘢𝘯 𝘢𝘬𝘶𝘯𝘵𝘢𝘣𝘦𝘭.

Audit Kontrak Lump sum ?

Mohon pencerahan .....jika kontrak lumsum jika karena sesuatu hal ada item yg tidak mungkin dikerjakan oleh penyedia...apakah penyedia bisa dituntut? Dan apakah auditor bisa menjadikan ini sebagai temuan kerugian negara?
Klausul mengenai penyelesaian kontrak lumsum ini apa perlu dinyatakan eksplisit bahwa jika tidak bisa dikerjakan maka penyedia tidak bisa diminta untuk mengembalikan kelebihan pembayaran? Mksh banyak 
Tolong dilihat Perpres 04 2015 Pasal 89 ayat 2a.
Dalam menggunakan kontrak lumpsum, perlu di lihat beberapa hal a.l. 
1. kontrak lumpsum jangan dipakai utk pekerjaan underground termasuk fondasi dsb. 
2. kl jangandipakai jika pemgguna jasa atau enjinir ingin terlibat mendalam dalam pelaksanaan pekerjaan (distrust), seperti mensyaratkan adanya approval utk setiap kegiatan kontraktor, tŕmasuk appr const drwg.

Tidak bisa dinyatakan seperti kalimat di atas, karena bisa diduga berencana utk menguntungksm kontraktor (mala fides).

 Lagipula jika sesuatu yg tdk dikerjakan lalu tidak dibayar tentunya cukup adil, begiti sebaliknya jika dikerjakan tentunya hrs dibayar. Prinsip dasar kontrak konstruksi hrs fair and balance.

Ini yg perlu diperhatikan ketika tdk dikerjakan ...berapa yg hanya bisa dibayar.. peran audit mencegah kerugian negara

Dlm audit kinerja, Auditor harus membandingkan fakta dengan kriteria. fakta yg tidak sesuai kriteria (per uu atau kontrak) dinyatakan sbg temuan.... utk kasus ini, bila suatu pekerjaan ada digambar/spek (kontrak) maka berarti punya nilai. Meski kontrak lumpsum dan tidak diminta analisa harga serta kuantitas dan harga, nilai pekerjaan tsb dpt dihitung menggunakan hps. Bila tidak ada pekerjaan lain yg bersifat menggantikan, auditor dapat menyatakan sbg kelebihan bayar. Bila kelebihan bayar dan ada perbuatan melawan hukum... kerugian negara

Makanya dlm kontrak lumpsum.... krn ada 2 mazab di lapangan yaitu mazab PBJ dan mazab auditor... saya setuju bahwa dlm kontrak lumpsum si penyedia hanya nawar total penawaran tanpa dilampiri Rincian RAB

Kalaupun ada pekerjaan penggantinya harus di nyatakan dalam addendum kontrak secara ballance budget, serta alasan teknis yg wajar. Krn ada pekerjaan yg memang terpaksa hrs dialihkan/digantikan krn memang scr teknis tidak bisa diaplikasikan dgn berbagai sebab teknis. Addendum kontrak ini penting untuk membuktikan bahwa pekerjaan awal yg tertera dlm kontrak dgn yang baru nilainya sama shg scr kontraktual terjadi ballance budget dan tdk ada kerugian negara.

Yang sering jadi temuan auditor krn pek penggantinya tidak dibuatkan addendum kontraknya, sehingga ketika disandingkan antara fakta dan kriteria tidak bisa dinilai, maka oleh auditor pek pengganti ini dianggap tidak ada. Karen auditor beranggapan nilai kontraknya bisa saja tidak ballance shg ada potensi kerugian negara.

Secara real ada secara dokumentasi adm belum dibuat... harusnya dianggap ada dunk dan teguran tertib adm... kasian penyedia ..terdholimi 

Masalahnya apakah secara nilai ballance atau tidak antara pek awal dgn penggantinya. Auditor hanya motret antara fakta dan kriterianya. Kalau tidk bisa dinilai maka pek pengganti dianggap tidak ada. Kalau auditornya "baik" biasanya auditee nya diajari kalao nggak faham. Tapi tdk semua auditor dalam koridor yang sama dalam pemahaman, penilaian. Mungkin in i karena tdk ada pedoman untuk auditor/ SOP auditor.

Dlm pekerjaan konstruksi terkadang di lapangan tdk ada stok bahan yg akan digunakan, tp pengganti bahan tsb tdk boleh mngurangi kualitas pekerjaan apalagi umur konstruksi. Contoh dlm gbr dibutuhkan besi D = 18 mm sebanyak 10 batang, dpt diganti dgn besi D = 10 mm sebanyak 20 batang. Yg terpenting adalah secara perhitungan struktur dan konstruksi masih bisa dipertanggung jawabkan.

Benar, tapi harus dibuat addendumnya serta hrs ada justifikasi teknisnya apakah benar perhitungan konversi dari besi 18=10 bt dirubah menjadi 10=20 bt secara struktur setara memenuhi kekuatan awal dengan hasil perhitungan kinversi ke besi 10. Dan harus dihitung nilainya apakah ballance antara harga terkontrak awal dgn harga stelah di konversi. Dalam addendum kontraknya hrs dibuat matriksnya pekerjaan kurangnya dari besi 18=10; dan pek tambahnya besi 10=20; kalau nilainya masih belum ballance misalnya masih kurang, maka harus ada pekerjaan pengganti lainnya spy ballance.

Dalam perka dan juknis lainnya.... unt kontrak lumpsum, RAB tdk harus disertakan... dalam perpres, yg dikatakan penawaran, salah satunya apabila ada rincian kuantitas dan harga... artinya untuk jenis kontrak apapun.... Sumber kisruh dilapangan... bila kontrak lumsum biasanya ada gambarnya, Di RAB gak ada itemnya... atau ada itemnya tapi gambarnya tidak ada.... Padahal ada perbedaan fiqih pengadaan antara auditor dan PBJ... di negeri kita beda fiqih mesti jadi masalah...

Kesalahan yang banyak adalah menganggap  jika kontrak lumpsum ada RAB, maka dianggap batal sifat Lumpsumnya. Harusnya meskipun ada rincian, kalau kontrak sudah jelas dinyatakan lumpsum, maka RAB tidak digunakan sebagai dasar perhitungan.

Auditor sering menilai kesesuaian komposisi ahs.. seperti besi ukuran 18 diubah menjadi 10...
Maka permen pu 31 2015 ..tdk meminta lagi penyedia untuk menyampaikan ahs...
Bgmn penilaian audit dan kerugian negara ?
Apakah dinilai dari mutu output ?

Andaikan ada pergantian ukuran besi, kan tidak bisa langsung diganti, ada proses pengajuan perubahan disertai perhitungan struktur, kemudian disetujui oleh konsultan pengawas (bila perlu diskusikan lagi dengan perencana), baru bisa diganti. Jika proses dan bukti pendukung memadai, harusnya gak masalah lagi.

Perubahan/penggantian dilakukan untuk mencapai hasil yang telah ditetapkan.

Post a Comment

1 Comments