header 2

š˜‰š˜­š˜°š˜Ø š˜Ŗš˜Æš˜Ŗ š˜©š˜¢š˜Æš˜ŗš˜¢ š˜±š˜¦š˜Æš˜„š˜¢š˜±š˜¢š˜µ š˜±š˜³š˜Ŗš˜£š˜¢š˜„š˜Ŗ š˜¶š˜Æš˜µš˜¶š˜¬ š˜®š˜¦š˜Æš˜„š˜¶š˜¬š˜¶š˜Æš˜Ø š˜¬š˜¦š˜®š˜¢š˜«š˜¶š˜¢š˜Æ š˜š˜Æš˜„š˜°š˜Æš˜¦š˜“š˜Ŗš˜¢ š˜®š˜¦š˜­š˜¢š˜­š˜¶š˜Ŗ š˜±š˜¦š˜Æš˜Øš˜¢š˜„š˜¢š˜¢š˜Æ š˜ŗš˜¢š˜Æš˜Ø š˜®š˜¶š˜„š˜¢š˜© , š˜¦š˜§š˜Ŗš˜“š˜Ŗš˜¦š˜Æ,š˜¦š˜§š˜¦š˜¬š˜µš˜Ŗš˜§,š˜µš˜³š˜¢š˜Æš˜“š˜±š˜¢š˜³š˜¢š˜Æ,š˜£š˜¦š˜³š˜“š˜¢š˜Ŗš˜Æš˜Ø, š˜¢š˜„š˜Ŗš˜­/š˜µš˜Ŗš˜„š˜¢š˜¬ š˜„š˜Ŗš˜“š˜¬š˜³š˜Ŗš˜®š˜Ŗš˜Æš˜¢š˜µš˜Ŗš˜§ š˜„š˜¢š˜Æ š˜¢š˜¬š˜¶š˜Æš˜µš˜¢š˜£š˜¦š˜­.

DIDUNIA MANA SAJA PROSEDUR PENGADAAN ADALAH HUKUM ADMINISTRASI

Copy paste dari Zainuddin H.Abdulkadir

Perumusan yang luas dengan memasukkan unsur melawan hukum sebagai sarana memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 telah membuka kemungkinan terjadinya multi interpretasi melalui interpretasi ekstensif. Hal ini ditandai adanya suatu kecenderungan dalam praktek peradilan dimana para praktisi hukum melalui perdebatan dan polemik yang diajukan dalam requesitoir, pledoi maupun putusan pengadilan menginterpretasikan unsur
melawan hukum menurut subyektifitas kepentingan masing-masing. Interpretasi tentang hal ini pada umumnya terjadi dalam peristiwa-peristiwa: : a. Seorang yang melanggar hukum peraturan pidana lain (seperti, penyelundupan, pelanggaran pajak, penerimaan kredit secara tidak wajar yang merupakan pelanggaran pidana perbankan, pelanggaran tindak pidana kehutanan dan lain-lain) dimasukkan pula sebagai pelanggaran undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi, khususnya tindak pidana yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi. Perumusan unsur secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi adalah sangat luas dan umum dan bersifat terbuka untuk ditafsirkan yaitu meliputi setiap perbuatan yang melanggar ketentuan pidana. Dengan demikian setiap perbuatan yang melanggar perundang-undangan pidana (KUHP maupun perundang-undangan lainnya) asalkan terbukti memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi dan merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dapat diterapkan sebagai pelanggaran Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001. Sebagai contoh ekstrim dapat di kemukakan misalnya seseorang yang melakukan pencurian mesin komputer milik inventaris kantor pemerintah akan dapat dituntut melakukan tindak pidana korupsi, karena perbuatannya memenuhi unsur melawan hukum, memperkaya diri sendiri, unsur kerugian keuangan negara. Interpretasi yang demikian tentu saja menimbulkan ketidak pastian hukum, karena orang tidak mengetahui dengan pasti kriteria apa perbuatan yang melanggar ketentuan pidana lain tersebut diterapkan sebagai tindak pidana korupsi dan kapan diterapkan murni pelanggaran tindak pidana lain yang khusus untuk perkara tersebut. Prof. Oemar Seno Adji SH mengkritik keras cara-cara penerapan undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi semacam itu, dengan menyatakan: Tidak dapat di pungkiri, bahwa ada suatu kecenderungan para penegak, “hanteerder” kewenangan dan pengadilan pula, dalam menghadapi suatu perumusan yang luas, umum dan terbuka dalam perundang-undangan mengadakan suatu interpretasi yang extensif. Malahan apabila tidak terdapat hambatan pejabat-pejabat hukum tersebut bersikap berkelanjutan, dan agak ekssesif dalam mengartikan perumusan yang luas terbuka kita. Dapat timbul apa yang dikatakan oleh Pompe “overspanningen” dalam Hukum Pidana, yang meliputi dan memasukkan penerapan peraturan-peraturan hukum, yang dimaksudkan tidak termasuk dalam jangkauan peraturan peraturan dengan rumus yang luas dan terbuka itu.[10] Interpretasi yang luas dari perumusan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 selain menimbulkan ketidak pastian hukum, juga terbukti mengesampingkan nilai dan makna filosofis dari suatu perundang-undangan pidana yang dibuat khusus untuk menghadapi perbuatan yang khusus diatur dalam undang-undang yang di maksud. Oleh karena itu perlu diadakan pembatasan pengertian dalam perundang-undangan tindak pidana korupsi yang dirumuskan secara luas dan umum tersebut. Prof. Oemar Seno Adji menganjurkan untuk dilakukan rechtsverfijning (penghalusan hukum) dalam implementasinya oleh hakim yaitu suatu aturan umum itu dibatalkan oleh kekecualian khusus.[11] Bilamana terjadi suatu peristiwa yang merupakan suatu tindakan tindak pidana penyelundupan maka kepadanya diterapkan dakwaan undang-undang kepabeanan, jika suatu peristiwa pidana merupakan suatu tindak pidana pelanggaran hutan seharusnya hanya diterapkan undang-undang tentang kehutanan, tidak lagi diterapkan undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi. b. Penunjukan Langsung Pengadaan Barang/Jasa dan Interpretasi Unsur Melawan Hukum Dalam praktek penegakan hukum sering terjadi polemik antara aparat penegak hukum dengan tersangka / terdakwa dan penasehat hukum dalam kasus pengadaan barang/jasa yang dibiayai dengan dana pemerintah, menyangkut sistem pengadaan dengan metode penunjukan langsung rekanan. Dalam pandangan aparat penegak hukum perbuatan pengadaan barang/jasa dengan metode penunjukan langsung di interpretasikan sebagai perbuatan melawan hukum, karena melanggar Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 yang telah beberapa kali dilakukan perubahan dan terakhir perubahan keempat berdasarkan peraturan Presiden Nomor 8 Tahun 2006, sedangkan bagi tersangka, terdakwa maupun penasihat hukum menginterpretasikan bahwa penunjukan langsung tersebut masih dalam batas-batas yang diatur oleh Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003. Jika diperhatikan argumentasi yang dikemukakan dalam perdebatan, pada umumnya mereka menafsirkan unsur secara melawan hukum dengan sangat sederhana dan normatif yaitu hanya menggunakan ukuran melanggar Keputusan Presiden Nomor 80 tahun 2003. Mereka memandang bahwa pelanggaran Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003, “identik” dengan pelanggaran unsur melawan hukum undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi, atau dengan kata lain pelanggaran hukum administrasi sama dengan pelanggaran melawan hukum dalam hukum pidana. Interpretasi yang demikian itu dirasakan sebagai kesewenang-wenangan yang menimbulkan ketidak adilan dan ketidak pastian hukum. Seyogyanya kaidah teoritis interpretasi hukum, baik yang dikemukakan sebagai doktrin maupun yurisprudensi dipakai secara mendalam, bukan interpretasi yang didasarkan pada logika subyektif. Penunjukan langsung baru merupakan perbuatan melawan hukum apabila unsur kesengajaan penggelembungan harga atau diikuti dengan penyuapan kepada pejabat yang bersangkutan, suatu pandangan yang menurut asas-asas hukum tidak tertulis dan asas kepatutan merupakan perbuatan yang dicela oleh masyarakat.


Post a Comment

0 Comments