MENDENGAR kata "kerugian negara", para pejabat pemerintahan dan lembaga/badan yang didirikan dengan dana yang berasal dari APBN akan khawatir.
Kekhawatiran bersumber pada adanya kerugian negara yang diasosiasikan dengan korupsi dan kemungkinan masuk penjara.
Apakah kerugian negara selalu berkorelasi dengan korupsi?
Dalam perspektif hukum, ada empat jenis kerugian negara.
Pertama adalah kerugian negara yang diakibatkan hubungan yang bersifat perdata.
Ini terjadi karena negara mengadakan barang dan jasa. Pengadaan barang dan jasa didasarkan pada perjanjian antara negara di satu sisi dan penyedia jasa di sisi lain. Dalam pengadaan barang dan jasa, bisa saja penyedia jasa cedera janji (wanprestasi) atau melakukan penipuan. Negara dirugikan dan muncullah kerugian negara.
Kedua adalah kerugian negara yang disebabkan masalah administratif.
Secara administratif, pengeluaran anggaran negara didasarkan pada aturan dan prosedur. Aturan dan prosedur wajib ditaati. Namun, bisa saja terjadi aturan dan prosedur secara tak disengaja atau lalai tak dipenuhi. Atau, dalam situasi genting memang sengaja tak dipenuhi. Semisal pengadaan barang yang seharusnya melalui tender, karena ada kegentingan memaksa, pengadaan barang dilakukan dengan penunjukan langsung. Dalam beberapa kasus, akibat tak dipatuhinya aturan dan prosedur, terjadi dan muncul kerugian negara.
Ketiga adalah kerugian negara yang disebabkan kebijakan atau keputusan yang diambil pejabat pemerintah yang melibatkan uang asal APBN. Kerap yang dipermasalahkan, apakah keputusan telah secara benar diambil?
Terakhir adalah kerugian negara yang terjadi di lembaga/badan yang menggunakan dana APBN untuk pendiriannya atau sebagian dana operasionalnya, seperti badan usaha milik negara (BUMN),
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), bahkan perguruan tinggi negeri badan hukum. Kerugian lembaga/badan itu merupakan kerugian negara. Alasannya, kekayaan lembaga/badan itu berdasarkan Pasal 2 huruf (g) UU Keuangan Negara merupakan bagian dari keuangan negara.
Secara perdata, secara administratif, dan dalam pengambilan keputusan oleh para pejabat di lembaga/badan ini, sebagaimana juga yang terjadi di instansi pemerintah, berpotensi memunculkan kerugian negara.
Pidana Pada prinsipnya, keempat jenis kerugian negara ini tak bisa masuk ke dalam ranah pidana. Jika ada kerugian negara yang dimunculkan karena hubungan bersifat perdata, upaya hukum yang tersedia adalah musyawarah mufakat dengan pihak mitra. Jika tidak berhasil, dilakukan gugatan ke pengadilan atau arbitrase. Jika ada kerugian negara yang ditimbulkan kesalahan administratif, diselesaikan secara administratif. Secara administratif, kerugian yang diderita negara dapat diminta dikembalikan pejabat yang melakukan kesalahan. Bahkan, pejabat yang melakukan kelalaian pun dapat ditindak secara administratif dengan dimutasi atau didemosi dari jabatannya. Jika ada kerugian negara yang diakibatkan kebijakan atau keputusan, evaluasi bisa dilakukan. Hasil evaluasi dapat menunjukkan apakah keputusan benar atau salah. Hanya saja, evaluasi harus menggunakan konteks dan suasana pada saat kebijakan atau keputusan diambil. Dalam konteks ini, kebijakan atau keputusan apa pun, termasuk yang salah sekalipun, tetapi yang dilandasi iktikad baik, harus dihormati. Sanksi tak dapat diberikan mengingat ini merupakanjudgement. Demikian juga di BUMN yang harus melakukan investasi. Investasi belum tentu untung, tetapi dapat juga rugi. Rugi dan untung merupakan dua sisi mata uang. Kerugian tak mungkin diberi sanksi karena didasarkan pada business judgement.
Lalu, kapan mekanisme hukum pidana berlaku?
Ia berlaku jika dalam kerugian negara terdapat perbuatan oleh orang yang memenuhi unsur pidana, lebih khusus tindak pidana korupsi. Menjerat pelaku tindak pidana korupsi harus didasarkan pada niat jahat dan perbuatan jahat si pelaku. Kerugian negara tak bisa dijadikan dasar atau fokus utama dalam menjerat pelaku.
Di dalam UU Tipikor, hal yang berhubungan dengan kerugian negara adalah Pasal 2 dan Pasal 3. Mencermati Pasal 2, niat jahat dan perbuatan jahat diwujudkan dalam unsur "secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi".
Dalam Pasal 3 adalah "dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan". Jadi, jika dalam suatu perjanjian perdata digunakan uang negara , ternyata pihak yang mewakili pemerintah dapat dibuktikan memperkaya diri, orang lain, atau korporasi serta melawan hukum atau menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada pada jabatan dan kedudukannya, ia dapat dijerat dengan UU Tipikor.
Semisal dalam pengadaan barang/jasa dan pembelian suatu barang, angkanya ditinggikan. Tujuan meninggikan harga agar penyedia jasa dapat memberi uang kepada pejabat yang menyetujui penyediaan barang dan jasa. Istilah awam adalah kick back atau titip harga. Ini juga berlaku jika kesalahan administratif atau pengambilan keputusan didasarkan pada niat dan perbuatan memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi yang dilakukan secara melawan hukum atau menyalahgunakan kewenangan.
Penerapan mekanisme UU Tipikor di instansi pemerintah pun berlaku pada lembaga/badan yang didirikan menggunakan APBN.
Sebenarnya perilaku koruptif seperti diuraikan tadi tidak hanya berlaku bagi oknum pejabat di pemerintahan atau badan/lembaga yang menggunakan APBN, tetapi juga terjadi di sektor swasta. Hanya saja, perilaku koruptif di sektor swasta tidak terjangkau oleh UU Tipikor karena dalam Pasal 2 dan 3 terdapat kata "keuangan negara". Padahal, dalam Konvensi PBB tentang Pemberantasan Korupsi, di mana Indonesia telah menjadi peserta, korupsi di sektor swasta telah dikriminalkan. Stagnan Bayangan akan munculnya kerugian negara telah membuat pengambil keputusan di pemerintahan dan lembaga/badan yang menggunakan dana ABPN ekstra hati-hati. Bahkan, mereka cenderung tak mengambil keputusan. Akibatnya, penyerapan anggaran akan terhambat. Setiap akhir tahun, penyerapan anggaran tak sesuai dengan rencana. Alokasi anggaran tak disalurkan sesuai dengan peruntukannya, tetapi dimasukkan ke deposito atau ke dalam sertifikat BI. Pengambil kebijakan di pemerintahan enggan mengambil keputusan yang berisiko pada kerugian negara karena sikap mereka adalah lebih baik negara tidak selamat, sementara saya (pejabat) selamat. Ini karena jika negara selamat, pejabat tersebut khawatir tidak selamat alias masuk penjara. Pemimpin lembaga/badan yang didirikan dengan APBN pun memiliki sikap sama. Akibatnya, lembaga/badan, khususnya BUMN, tak akan selincah perusahaan swasta sejenis. Pemberantasan korupsi tentu harus terus didengungkan dan diimplementasikan. Namun, Indonesia harus mengakhiri praktik mengkriminalkan semua yang diindikasikan adanya "kerugian negara". Siapa pun yang bersentuhan dengan keuangan negara sepanjang tidak melakukan perilaku koruptif akan dapat bekerja dengan tenang untuk kesejahteraan rakyat. Jika tidak, negeri ini akan stagnan.
Hikmahanto Juwana Guru Besar Ilmu Hukum UI
0 Comments