header 2

𝘉𝘭𝘰𝘨 𝘪𝘯𝘪 𝘩𝘢𝘯𝘺𝘢 𝘱𝘦𝘯𝘥𝘢𝘱𝘢𝘵 𝘱𝘳𝘪𝘣𝘢𝘥𝘪 𝘶𝘯𝘵𝘶𝘬 𝘮𝘦𝘯𝘥𝘶𝘬𝘶𝘯𝘨 𝘬𝘦𝘮𝘢𝘫𝘶𝘢𝘯 𝘐𝘯𝘥𝘰𝘯𝘦𝘴𝘪𝘢 𝘮𝘦𝘭𝘢𝘭𝘶𝘪 𝘱𝘦𝘯𝘨𝘢𝘥𝘢𝘢𝘯 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘮𝘶𝘥𝘢𝘩 , 𝘦𝘧𝘪𝘴𝘪𝘦𝘯,𝘦𝘧𝘦𝘬𝘵𝘪𝘧,𝘵𝘳𝘢𝘯𝘴𝘱𝘢𝘳𝘢𝘯,𝘣𝘦𝘳𝘴𝘢𝘪𝘯𝘨, 𝘢𝘥𝘪𝘭/𝘵𝘪𝘥𝘢𝘬 𝘥𝘪𝘴𝘬𝘳𝘪𝘮𝘪𝘯𝘢𝘵𝘪𝘧 𝘥𝘢𝘯 𝘢𝘬𝘶𝘯𝘵𝘢𝘣𝘦𝘭.

Gara-Gara Kata ‘Dapat’, Terdakwa Bawa UU Tipikor ke MK

Pasal dakwaan dalam korupsi akhirnya dipersoalkan sejumlah terdakwa korupsi lewat uji materi Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah denganUU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor). Mereka adalah Firdaus, Yulius Nawawi, Imam Mardi Nugroho, HA Hasdullah, Sudarno Eddi, Jamaludin Masuku.Pemohon meminta Mahkamah Konstitusi (MK) membatalkan kata “dapat” dan frasaatau orang lain atau suatu korporasidalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Pemberantasan Korupsi. Sebab, kata dan frasa itu dinilai multitafsir, ambigu dan tidak pasti dalam penerapannya. “Kata ‘dapat’ dan frasa ‘atau orang lain atau suatu korporasi’ mengandung makna tidak jelas dan tidak pasti dan potensial disalahgunakan aparat penegak hukum,” ujar kuasa hukum Para Pemohon, Heru Widodo dalam sidang perdana di gedung MK, Rabu (23/3).
 
Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor menyebutkan,“Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00”.
 
Lalu, Pasal 3 menyebutkan“Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 20 tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00”.
 
Untuk diketahui, Firdaus didakwa melakukan tindak pidana korupsi dan telah dijatuhi hukuman pidana berdasarkan putusan Pengadilan Negeri Mamuju Nomor: 08/Pid.Sus/TPK/2013/PN.MUDemikian pula, Yulius Nawawi dan Imam Mardi saat ini jugaberstatus terdakwa tipikor. Sedangkan, HA Hasdullah. Sudarno Eddi, Jamaludin Masuku merupakan aparatur sipil negara yang berpotensi dikenakan Pasal 2 ayat (1), Pasal 3 UUPemberantasan Tipikor.
 
Widodo menjelaskan kata “dapat” dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor memberi peluangkeleluasaan aparat penegak hukum bertindak sewenang-wenang sekaligusmengabaikan kewajibannya atas dasar hukum yang jelas dan pasti. Sedangkan frasa “atau orang lain atau suatu korporasi” mengandung makna ambigu dan tidak pasti. Sebab, frasa itu menjaring seluruh perbuatan yang disengaja, tidak disengaja atau perbuatan yang diawali dengan maksud baik.
 
Rumusan frasa atau orang lain atau suatu korporasi” memungkinkan seseorang dikenai tipikor walaupun seorang aparatur sipil negara mengeluarkan kebijakan dengan iktikad baik dan menguntungkan negara atau rakyat. Saat lain justru menguntungkan orang lain atau korporasiPadahal kebijakan tersebut sama sekali bukan perbuatan jahat,” bebernya.
 
Selain itu, kata “dapat” dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor memungkinkan aparat penegak hukum memperlakukan tindakan atau kebijakan yang berbeda atas perbuatan yang sama. Hal ini bertentangan dengan prinsip negara hukum yang dijaminPasal 1 ayat (3) UUD 1945 jo Pasal 27 ayat (1) UUD 1945,” katanya.
 
Dia mengingatkan Putusan MNo.003/PUU-III/2006 yang menolak menghapus kata “dapat” Pasal 2 dan Pasal 3merupakan tindak pidana (delik) korupsi sebagai delik formil, sehingga unsur merugikan keuangan negara bukan unsur esensial. Namun, sejak lahirnya UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan telah mengubah cara pandang pemberantasan tipikor menjadi pendekatan dan penyelesaian hukum administrasi.
 
“Dengan UU Adminitrasi Pemerintahan seluruh kesalahan administrasi yang merugikan keuangan negara dipastikan memenuhi unsur tipikor termasuk aparatur sipil negara yang melanggar peraturan administrasi, kelalalain memenuhi peraturan,atau tidak sesuai kepatutan merupakan delik korupsi,” dalihnya.
 
Menurutnya, menjadikan tipikor sebagai tindak pidana formil sudah tidak relevan lagi. Karena itu, adanya kata “dapat” dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor bertentangan dengan prinsip konstitusi yang dijamin Pasal 1 ayat (3), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28G ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28I ayat (4), Pasal 28I ayat (5) UUD 1945yang menjamin rasa aman,dan perlindungan dari ancaman ketakutan.
 
“Adanya kata dapat menimbulkan rasa takut dan khawatir bagi setiap orang yang sedang menduduki jabatan dalam pemerintahan, karena setiap tindakannya mengeluarkan keputusan atau tindakan dalam jabatannya selalu dalam intaian ancaman delik korupsi,” katanya.
 
Menyatakan kata “dapat” dan frasa “atau orang lain atau suatu korporasi” dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Pemberantasan Tipikor bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” sebutnya dalam petitum permohonan.

Ketua Majelis Panel Maria Farida Indrati mengatakan pokok permohonan ini sudah cukup jelas. Pada dasarnya dengan berlakunya UU ASN, pendekatan UU Pemberantasan Tipikordianggap tidak sesuai lagi dengan kondisi saat ini. “Anda memohon supaya UU yang lama itu diberikan makna baru atau dinyatakan seperti petitum Anda. Inti permohonan inisebenarnya Pemohon ingin menghilangkan adanya kriminalisasi terhadap tindakan yang bersifat administratif,” kata Maria.

Anggota Majelis  I Dewa Gede Palguna mempertanyakan uraian kedudukan hukum (legal standing) para pemohon terutama dihubungkan dengan kerugian konstitusionalnya. “Ini perlu dielaborasi sedikit hak konstitusional apa yang dilanggar. Kemudian kerugian itu apakahpotensial atau aktual? Uraian kan juga hubungan kausalitas kalau dikabulkan kerugian itutidak lagi terjadi,” sarannya.

Post a Comment

0 Comments