Suatu
pengadaan generator listrik senilai Rp. 1,3 miliar telah dilakukan dengan penunjukan
langsung.
Berdasarkan
penelitian aparat penegak hukum, hal ini melanggar Perpres Pengadaan, yang
seharusnya dilakukan dengan pelelangan dan bukan penunjukan langsung karena darurat,
karena listrik tidak mati selamanya.
Kemudian
dihitung mengenai kerugian negara, yaitu ditelusuri dari pabriknya yang menjual
sebesar Rp. 1 miliar kepada pabrik kelapa sawit.
Dengan
demikian ada kerugian negara sebesar Rp. 300 juta.
Tanggapan:
Kepala
daerah adalah pejabat yang bertanggungjawab terhadap kemajuan daerah. Jangan
biarkan suatu kantor, suatu hari tiba-tiba listriknya mati, tidak bisa melayani
masyarakat atau tidak bisa berkinerja karena gara-gara proses pengadaan. Karena pengadan
generator listrik belum tersedia.
Kepala
daerah dapat segera memutuskan bila tidak tersedia generator listrik, untuk
memerintahkan penunjukan langsung, yang tentunya dengan tidak menyebut nama
suatu penyedia (dan tidak terima gratifikasi), maka proses penunjukan langsung diproses oleh PPK dan panitia
pengadaan (pokja ULP).
Proses
penunjukan langsung dilakukan dengan klarifikasi teknis dan negosiasi harga.
Bagaimana
bila pengadaan tersebut bukan hal yang mendesak, misal sudah ada generator
listrik, dilakukan pengadaan lagi sebagai alat cadangan.
Bila
sifatnya tidak mendesak, seharusnya dilakukan dengan pelelangan.
Bagaimana
bila pelelangan namun dilakukan penunjukan langsung, apakah hal demikian suatu
tindakan pidana ?
Dalam hal itu bukan
kesengajaan dengan niatan jahat, maka
ini adalah pilihan proses pengadaan yang dalam ruang lingkup hukum administrasi
negara.
Apakah
kesalahan hukum administrasi negara yang tidak diiringi dengan suap dan fiktif,
dan ada kerugian negara, dapat diproses
hukum ?
Hukum administrasi
negara, bila dilakukan dan ada kesalahan maka ya sanksi administrasi.
Mengenai
kerugian negara agar dicermati yaitu harga pembayaran kontrak dengan harga
wajarnya dan dalam levelnya.
Misalkan
barang yang dibayar tersebut, sudah diterima dan dapat dimanfaatkan.
Misalnya
telah dibayar Rp. 1.3 miliar.
Berapa harga
wajarnya ?
Harga
wajarnya adalah ketika penyedia dalam level yang sama menjual berapa ke
instansi pemerintah ?
Bila tidak bisa maka dihitung dari penyedia level atasnya
dengan level penyedia yang memasok ke kantor kita.
Berdasarkan
audit tadi sebagai berikut
Pengadaan pemerintah
|
Pengadaan swasta
|
|
Level 1. pabrikan
|
Harga dipabrikan Rp 1 miliar
|
Harga dipabrikan Rp 1 miliar
Dijual pabrik sawit Rp 1 miliar |
Level 2. penyedia
|
||
Agar
diperhatikan disini, untuk pemerintah ada 2 level, sedangkan data pembanding ada satu level, berarti ada ketidaksetaraan. Jadi tidak bisa dinilai bahwa telah terjadi
kerugian negara sebesar Rp. 300 juta.
Bila sulit
menemukan perhitungan maka dapat dibuat analisa biaya perolehan yaitu Rp. harga beli + keuntungan + PPN 10% = 1.000+ 150 + 115 = 1.265
Kerugian
negara = Realisasi pembayaran – harga wajar = 1.300-1.265 = 35 juta.
Kalau
kerugian negara hanya Rp. 35 juta dilakukan sidang di pengadilan, maka negara
akan lebih tekor lagi, jangan-jangan biaya sidang akan lebih besar dari itu.
Diminta
setor saja penyedianya.
Jangan
sampai kita menyalahkan orang lain dalam proses pengadaan, sementara instansi kita
sendiri juga tidak sempurna melakukan pengadaan.
Sekali lagi
pengadaan barang/jasa adalah pilihan-pilihan prosedural.
Tidak
korupsi ya jangan diproses hukum diluar hukum administrasi negara.
3 Comments
analisis harus dilengkapi dengan bedah 1. terminologi "kerugian negara" dan "korupsi" 2. apple to apple nya perbedaan harga. FEEDBACK 1. poin PERSAMAAN dari kedua terminologi itu adalah "melawan hukum". terminologi melawan hukum pun harus dibedah. secara umum, pelanggaran prosedur merupakan bagian dari melawan hukum. berarti kasus diatas sudah memiliki sebagian komponennya. poin PERBEDAANnya adalah (antara lain) dalam "KORUPSI" ada bukti aliran dana ke org/perusahaan (memperkaya). 2. Harga yang diperoleh auditor harus harga yang beredar atau dapat dibeli oleh konsumen (BUKAN harus ke instansi pemerintah) karena mayoritas komponen HPS sudah terakomodir, dikuatkan lagi adanya mekanisme pengkreditan pajak (PPN) masukan dan pajak (PPN) keluaran di sepanjang jalur distribusi dan berhenti di konsumen. APAKAH pabrik sawit merupakan KONSUMEN atau bukan (pengecer/toko/retailer). jika pabrik sawit adalah konsumen maka objek perbandingan SUDAH apple to apple. analisis berikutnya adalah apakah tanggal penjualan ke pabrik sawit sama (atau paling tidak 'kurang lebih' mendekati) dengan tanggal di SURAT PENAWARAN atau HASIL NEGOSIASI (perlu diingat bahwa harga di tanggal kontrak berasal dari srt penawara/hsl negosiasi. demikian pak semoga bermanfaat bagi para pelaku pengadaan
ReplyDeleteTerima kasih pak Mustove_kamalove. Sebagian saya setuju, sehingga perlu dibuat HPS dalam level pabrikan, karena penyedianya banyak maka dilelangkan. Dalam hal tidak ada penyedia yang ikut, maka dapat ditunjuk pabrikan tersebut sebagai penyedia. Selanjutnya dalam banyak kejadian, pabrikan tidak bersedia menjadi penyedia untuk pemerintah dengan alasan banyak dokumen yang harus dipenuhi atau dokumen asli yang harus dibawa untuk ditunjukan dalam kualifikasi serta nanti pembayarannya lama. Bila pabrikan tidak bersedia menjadi pemasok untuk instansi pemerintah, maka dapat dilelangkan dalam level distributor/agen/pengecer, yang berarti harus ada keuntungan pada level ini, sehingga tambahan harga bukan sebagai kerugian negara.
DeleteNamun dapat terjadi ketidakcermatan dalam penempatan level, ini fakta lapangan bahwa pe-level-an penyedia masih banyak yang belum dipahami. Kejadiannya misal untuk nilai s,d, Rp 2.5 milar sering diartikan untuk usaha kecil .Ketika suatu pengadaan ada salah dalam menempatkan level penyedia yang berakibat kepada kesalahan posisi harga, sepanjang tidak ada korupsi maka penyedia dibayar biaya perolehan sampai barang dapat difungsikan. Berikutnya bila ada selisih agar disetorkan saja. Perlu juga diperhatikan biaya overhead yang terjadi.
Dalam audit, dikenal ada tiga hal, yaitu ekonomis, efisien, dan efektif.
ReplyDeletePermasalahan di atas, terkait dengan hal ekonomis, yaitu masalah harga perolehan input yang lebih mahal dari harga pasar wajar.
Untuk menentukan seberapa besar kemahalan harganya, perlu ada data pembanding yang "apple to apple" dengan harga pembelian/perolehan yang sudah direalisasikan.
Perlu ada kesetaraan waktu pembelian, lokasi pembelian, kuantitas pembelian, kebijakan harga jual, dsb.
Yang perlu diperhatikan lagi adalah ada/tidaknya gratifikasi/suap dalam proses pengadaan tersebut.