Unsur Melawan Hukum
Bagaimana
menemukan unsur sifat melawan hukum
dari perbuatan pengelolaan Barang dan
Jasa?
Pertama, harus ditemukan fakta bahwa, pengelola adalah mereka yang diberi
wewenang untuk mengelola pengadaan barang/jasa yang dibiayai dana APBD/APBN;
perlu surat keputusan dari Kuasa Pengguna Anggaran atau surat penunjukan;
kedua, apakah proses pengadaan barang/jasa telah memenuhi syarat-syarat yang
telah ditentukan dalam Perpres Tahun 2012;
ketiga, harus ditemukan fakta ada keuntungan pribadi, atau orang lain atau
korporasi sehingga Negara dirugikan
karena nya.
Unsur-unsur yang saya sebutkan di atas adalah untuk menguji
ketentuan Pasal 2 UU Tipikor Tahun 1999 diubah Tahun 2001. Untuk pengujian
unsur-unsur Pasal 3 UU Tipikor Tahun 1999/2001, masih perlu dibuktikan adanya penyalahgunaan wewenang oleh KPA, PPK
dan petugas lainnya sesuai Perpres 2012,
dan Negara dirugikan
sedangkan petugas ybs atau orang lain atau korporasi telah memperoleh keuntungan dari perbuatan yang telah dilakukan dengan sengaja (opzet).
Intinya untuk
perbuatan seseorang penyelenggara Negara (lihat UU RI Nomor 28 Tahun 1999) maka
perbuatan tersebut harus dilakukan dengan sengaja. Tidak ada kelalaian untuk
suatu tindak pidana korupsi! Unsur
penyalahgunaan wewenang yang dimaksud dalam kaitan Pasal 3 UU Tipikor
1999/2001, adalah perbuatan seorang penyelenggara Negara yang bertentangan dengan maksud dan
tujuan pemberian wewenang yang diberikan kepadanya oleh undang-undang tersebut.
Perbedaan Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor 1999 jo 2001
Perbedaan
Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor Tahun 1999 jo 2001 adalah bahwa ketentuan Pasal
2 ditujukan terhadap setiap orang selain penyelenggara Negara dan ketentuan
Pasal 3 ditujukan khusus terhadap penyelenggara Negara dengan merujuk pada
kalimat, “ menyalahgunakan kewenangan karena kedudukan atau jabatannya”.
Unsur
lainnya dalam kedua ketentuan tersebut adalah sama. Perbedaan lain dari dua ketentuan
tersebut terletak pada unsur “secara melawan hukum” pada Pasal 2 dan unsur
“dengan maksud” pada Pasal 3, yang berbeda besar satu sama lain. Unsur “dengan maksud” lazim diterjemahkan
sebagai “opzet als oogmerk” –sengaja dengan tujuan- yang berarti, suatu bentuk
kesengajaan- murni di mana pelaku telah memiliki niat jahat (mens-rea) untuk
menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau korporasi sehingga Negara
dirugikan karena perbuatannya. Untuk membuktikan unsur ini diperlukan
penyelidikan yang seksama untuk memperoleh sekurang-kurangnya dua alat bukti
sebagai bukti permulaan dan bukti lain yang diperoleh dari keterangan saksi,
ahli dan surat-surat lainnya. Unsur
“melawan hukum”, pasca putusan MK RI telah ditetapkan bahwa harus diartikan
“melawan hukum formil” yaitu perbuatan pelaku harus memenuhi syarat-syarat
formil suatu tindak pidana, yaitu perbuatan pelaku harus ditentukan secara
eksplisit telah menyimpang dari ketentuan Undang-Undang; bukan karena dipandang
tercela oleh masyarakat atau bertentangan dengan kesusilaan, ketertiban umum
dan keamanan.
Dalam
praktik penjelasan saya di atas sering diabaikan aparatur penegak hukum (APH)
termasuk hakim pengadilan tipikor.Kelemahan praktik penegakan hukum dalam
pemberantasan korupsi adalah
pertama, APH sering menetapkan status tersangka
korupsi hanya dengan cukup bukti petunjuk saja atau satu alat bukti lainnya.
Kelemahan
kedua, khusus dalam perkara korupsi, ketentuan Pasal 14 UU Tipikor 1999 jo 2001
tidak pernah dipertimbangkan baik oleh penyidik, penuntut maupun oleh Hakim.Tafsir
a’ contrario terhadap pasal ketentuan tersebut menjelaskan bahwa, jika di dalam
Undang-undang lain, selain UU Tipikor, tidak ditegaskan bahwa pelanggaran atas
Undang-undang lain sebagai tindak pidana korupsi maka berlaku ketentuan pidana
di dalam Undang-undang lain; bukan Undang-Undang Tipikor tersebut. Dalam
praktik banyak perkara administrasi yang telah memenuhi ketentuan Pasal 14
tetap dituntut dan dihukum berdasarkan UU Tipikor hanya karena telah terjadi
kerugian keuangan Negara dan telah menguntungkan diri sendiri atau orang lain
atau korporasi. Praktik penegakan hukum dalam pemberantasan korupsi yang telah
mengabaikan ketentuan Pasal 14 merupakan “kecelakaan sejarah penerapan UU
Tipikor” yang tiada ternilai dan berdampak terhadap “ketegangan(spanning)” pada
penyelenggara Negara sampai saat ini. Alih-alih menimbulkan efek jera
berkepanjangan pada penyelenggara Negara malahan menimbulkan paranoia pada baik
PPK maupun KPA yang pada giliranya tidak kondusi terhadap daya serap dana yang
telah direncakan dalam APBN sektoral (K/L).
Tulisan ini diambil dari tulisan Prof Romli Atmasasmita
4 Comments
selamat malam yth bpk Mudjisantosa, saya sangat kagum dengan blog anda ini yang memuat segala hal tentang pengadaan pemerintah secara tranparansi,
ReplyDeletedengan penuh rasa hormat saya, mohon ijin kan saya mengajukan beberapa pertanyaan yang menjadi keluhan saya dan beberapa kawan saya dalam registrasi sebagai penyedia Ekatalog di lingkungan LKPP, adapun pertanyaan saya sebagai berikut :
1. bagaimana mekanisme proses registrasi penyedia sesuai ketentuan yang berlaku?
2. berapa lama waktu yang dibutuhkan terhitung setelah penyerahan dokumen secara lengkap hingga tayang di e katalog?
mohon infonya pak, mohon maaf apa bila ada kata kata saya yang salah baik itu disengaja maupun tidak di sengaja, terima kasih
salam
Mengenai pengajuan, silahkan disampaikan ke Deputi II LKPP
ReplyDeleteMengenai waktu proses, memang belum diatur
bila ada pertanyaan agar di www.konsultasi.lkpp.go.id
DeleteMantap pak
ReplyDelete